Peran Mahasiswa untuk Indonesia: Menilik Aksi Solidaritas Tukin Dosen dan Aksi “Jogja Memanggil”

Para demonstran mengikuti aksi dengan tertib
(Foto: Daniel/Bul)

Pada bulan Februari yang cukup kelam ini, telah terjadi dua aksi dengan isu serupa yang melibatkan akademisi Universitas Gadjah Mada. Pada Rabu (12/2), telah dilaksanakan aksi solidaritas tunjangan kinerja (tukin) dosen di depan Gedung Balairung UGM. Aksi ini digelar sebagai bentuk unjuk rasa para dosen terhadap tindakan diskriminatif pemerintah terkait tunjangan kinerja ASN yang belum dibayarkan. Aksi yang diselenggarakan oleh Serikat Pekerja Fisipol UGM ini, tidak hanya dihadiri para dosen, tetapi juga mahasiswa yang ikut turun sebagai bentuk solidaritas. 

Selang seminggu setelah aksi sebelumnya, demonstrasi lain kembali digelar dengan melibatkan mahasiswa UGM. Pada Kamis (20/2), mahasiswa UGM berbondong-bondong dari bundaran UGM menuju Titik Nol Kilometer untuk melakukan aksi unjuk rasa “Jogja Memanggil”. Kebijakan-kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang menuai kontroversi dijadikan fokus utama dalam aksi ini. Kebijakan tersebut meliputi kenaikan PPN, kelangkaan LPG 3 kg, hingga isu pemangkasan anggaran pendidikan. Aksi yang mengangkat tagar #IndonesiaGelap ini berlangsung di depan Istana Kepresidenan Yogyakarta atau Gedung Agung Jogja. 

Poster dibentangkan di aksi “Jogja Memanggil” pada Kamis, (20/2) sebagai bentuk protes
(Foto: Wedna/Bul)

Berjalannya kedua aksi tersebut, tidak terlepas dari peran mahasiswa di dalamnya. Mahasiswa memiliki hak istimewa untuk mendapatkan pendidikan dan ilmu yang lebih tinggi sehingga mahasiswa dianggap sebagai orang yang cerdas di masyarakat. Terlebih lagi untuk para petani, buruh, maupun rakyat kecil lain yang tidak mendapat kesempatan menempuh bangku perkuliahan. Bagi mereka, mahasiswa adalah kunci untuk menyampaikan aspirasi rakyat kecil. Terutama di tengah kondisi negara dengan pemerintah yang tidak bisa dipercaya, mahasiswa dianggap sebagai  unsur yang paling dapat diandalkan. 

Menilik sejarah di masa lampau, peran mahasiswa dalam penyampaian aspirasi sudah ada sejak zaman Orde Lama. Dimulai ketika pendesakan deklarasi kemerdekaan oleh pemuda yang memiliki intelektual sehingga proklamasi dapat segera dikumandangkan. Pada tahun 1998, aksi besar yang memakan korban terjadi di Indonesia dengan mahasiswa sebagai pelopornya. Banyak mahasiswa yang tewas hingga disebut pahlawan reformasi. Pada tahun yang sama, mahasiswa berhasil menggulingkan Soeharto dan mengakhiri Orde Baru. Tidak berhenti di sana, pada tahun 2019, aksi untuk Indonesia oleh mahasiswa kembali terjadi, aksi ini mendesak pemerintah untuk membatalkan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK).

Tahun ini, mahasiswa kembali turun ke jalan membersamai rakyat untuk menuntut hak dan keadilan. Meskipun Indonesia sudah mengalami berbagai peradaban, nyatanya peran mahasiswa masih tak dapat dipisahkan. “Dalam demonstrasi yang bisa menekan pemerintah itu butuh people’s power. Tetap pada dasarnya mahasiswa adalah roda yang memoles demonstrasi,” jelas Farras, seorang peserta aksi sekaligus mahasiswa Sekolah Vokasi UGM. 

Kehadiran mahasiswa memang cukup membantu dalam menyuarakan aspirasi rakyat kecil. Sering kali, masyarakat kalangan bawah tidak sempat melakukan perlawanan karena kesibukan untuk bertahan hidup. Masyarakat sering kali kurang kritis dan peka terhadap masalah politik dan pemerintahan karena tuntutan mencari nafkah yang lebih besar demi kelangsungan hidup. “Mahasiswa berperan menginisiasi dalam aksi demonstrasi dan konsolidasi,” ungkap Citra, salah satu peserta aksi. “Pengetahuan yang mereka dapat di perguruan tinggi menjadikan mereka lebih kritis dan vokal,” lanjut mahasiswa Sastra Indonesia tersebut. Menurutnya, mahasiswa bisa memberikan sudut pandang kepada masyarakat sipil tentang kebijakan pemerintah. 

Kyla, peserta aksi lainnya, turut menceritakan pengalamannya bertemu dengan pengemudi taksi daring. “Saya bertanya ke pak supir, beliau berterima kasih dengan peran mahasiswa yang mau langsung turun ke jalan seperti ini,” terang Kyla. “Demokrasi berjalan karena mahasiswa, pengkritik hanya bisa cuap-cuap tanpa aksi nyata,” lanjutnya. Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya ini juga turut menerangkan, aksi tanpa mahasiswa tentu juga hal baik karena segala bentuk perlawanan lebih baik daripada hanya berdiam diri dan menunggu perubahan.

Penulis: Zulfa Nur/Bul

Editor: Fanny/Bul

Reporter: Wedna, Daniel, Endji, Lovi, Pukat, Rakha, Naila Alfi/Bul

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here