Dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat RI ke-13 Masa Persidangan II yang dilaksanakan pada Selasa, 18 Februari, RUU Minerba resmi disahkan. Dewan sepakat mengecualikan rancangan pasal pemberian izin pengelolaan tambang pada universitas, yang sempat menjadi bahan diskusi di media sosial. Pembatalan rancangan tersebut dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat pro dan kontra dari berbagai pihak.
Wacana pemberian izin usaha tambang pada universitas diusulkan dalam Rapat Pleno Penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Mineral dan Batubara (minerba) yang telah diselenggarakan oleh Badan Legislasi DPR RI. Rencananya, usulan ini akan tertera pada pasal 51A ayat (1). Hal ini tentu menuai berbagai macam pro kontra dari para akademisi dan peneliti mengingat berbagai dampak yang mungkin diakibatkan.
Namun, yang lebih mengherankan dari wacana perizinan tambang ini adalah respon dari para anggota DPR itu sendiri. Misalnya saja, salah satu anggota Komisi VI DPR, Muhammad Sarmuji, dalam wawancaranya bersama Tempo. Harapan Muhammad Sarmuji terhadap pengelolaan tambang oleh universitas yang dapat dijadikan panutan perusahaan tambang, cukup membuat saya mengernyitkan dahi. Universitas dan perusahan tambang merupakan dua badan yang berbeda dengan fokus yang berbeda pula. Agak unik rasanya jika universitas sebagai lembaga pendidikan dijadikan panutan oleh pertambangan sebagai lembaga bisnis.
Wacana perizinan kampus untuk mengelola tambang memang lebih banyak menuai kontra. Para akademisi berpendapat bahwa wacana tersebut membutuhkan pengkajian lebih lanjut dan tidak bisa asal dilaksanakan. Berbagai alasan yang berbeda turut dikemukakan oleh para akademisi.
Universitas Gadjah Mada merupakan satu dari sekian kampus yang menolak rancangan tersebut. Menurut salah satu dosen Departemen Teknik Geologi, Dr. Eng. Ir. Lucas Donny Setiadji, universitas seharusnya mengelola sumber daya manusia yang berkualitas, bukan mengelola pertambangan seperti perusahaan tambang.
Meskipun demikian, tak sedikit universitas yang menerima rancangan menarik dari DPR RI ini. Alasan penerimaan tentunya berkaitan dengan anggaran yang akan didapatkan oleh kampus. Misalnya, beberapa waktu lalu Rektor Universitas Airlangga turut memberikan respon. Menurutnya, rancangan ini merupakan niat baik dari pemerintah yang harus dimanfaatkan sebagai solusi pembiayaan tinggi di setiap kampus. Tak dapat dimungkiri, pengelolaan tambang oleh kampus memang bertujuan untuk membantu perekonomian kampus itu sendiri.
Alasan di balik pemberian izin ini memang cukup menggiurkan, terlebih lagi untuk Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) yang memiliki otonomi sepenuhnya dalam mengelola keuangan. Pemberian izin ini digadang-gadang dapat membantu universitas, terutama dalam ranah ekonomi. Pengelolaan tambang ini nantinya dapat memenuhi kebutuhan anggaran suatu universitas. Kebutuhan anggaran yang dipenuhi dari pengelolaan tambang ini diharapkan dapat membantu meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan.
Bicara tentang kualitas dan mutu, peran anggaran memang tidak dapat dipisahkan. Namun, anggaran bukanlah satu-satunya hal yang diperlukan dalam peningkatan kualitas dan mutu pendidikan. Tentunya, masih terdapat unsur lain yang berperan dalam peningkatan tersebut. Ini bukan hanya soal uang dan anggaran, tetapi juga tentang jati diri dan peran utama dari suatu universitas itu sendiri. Sejatinya, suatu universitas berperan untuk membentuk dan mengasah sumber daya manusia. Perizinan pengelolaan tambang tersebut dapat mengusik peran utama tersebut.
Pengelolaan tambang dapat berpotensi mengakibatkan penyimpangan moral. Apalagi, jika ada sangkut pautnya dengan bisnis. Agak diragukan apakah pejabat di Indonesia bisa sepenuhnya jujur, mengingat kasus korupsi yang merajalela hingga saat ini. Pada dasarnya, sulit bagi suatu lembaga pendidikan untuk tetap netral jika dijadikan lahan bisnis. Universitas yang seharusnya berperan untuk membentuk karakter justru berpotensi mengakibatkan kerusakan moral.
Kerusakan moral bukanlah satu-satunya alasan mengapa universitas tidak seharusnya mengelola tambang. Kerusakan alam yang diakibatkan oleh pertambangan juga menjadi salah satu faktor lain. Eksistensi perusahaan tambang sendiri sering mendapatkan kritikan pedas dari akademisi dan peneliti. Pengurasan sumber daya alam ibu pertiwi, yang dilakukan terus menerus, semakin merusak Bumi. Aktivitas tambang juga dapat mengakibatkan bencana alam, seperti tanah longsor dan banjir bandang, pada wilayah sekitar area pertambangan.
Bumi yang sudah menua semakin menuai simpati dari para peneliti dan akademisi. Universitas sebagai tempat yang dipenuhi oleh akademisi dan peneliti sepatutnya ikut khawatir dengan keadaan bumi. Adanya perizinan ini berpotensi mengakibatkan bergesernya keberpihakan dan merusak rasionalitas universitas itu sendiri. Lebih lanjut, kenetralan suatu universitas juga akan dipertanyakan. Universitas akan lebih sukar dalam mengkritik pertambangan apabila terlibat dalam pengelolaannya.
Perizinan usaha tambang ini memang bisa membantu perekonomian kampus, terutama perguruan tinggi yang mengelola keuangan secara mandiri. Namun, imbas yang dihasilkan terhadap universitas juga cukup besar. Universitas bisa saja kehilangan prinsip dan jati dirinya, atau lebih parah lagi, universitas menjadi lembaga yang tidak jauh berbeda dengan lahan bisnis. Universitas adalah lembaga yang berperan untuk mencetak sumber daya manusia dengan mutu tinggi dan berkualitas. Universitas bukan sekadar lahan bisnis yang hanya menitikberatkan persoalan uang dan anggaran.
Penulis: Zulfa Nur/Bul
Editor: Lili/Bul