Yogyakarta (10/23) – Dalam rangka bulan bahasa dan sastra, Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar kegiatan UGM Talks bertajuk “Sinergi dan Aksi Upaya Preservasi Bahasa Daerah” untuk memperkenalkan kembali bahasa-bahasa daerah yang terancam punah, salah satunya bahasa Enggano yang berasal dari daerah Bengkulu. Acara ini hadir sebagai bentuk kepedulian terhadap pelestarian bahasa daerah yang membutuhkan perhatian serta aksi nyata dari banyak pihak.
Acara ini diselenggarakan pada tanggal 23 Oktober 2024 dengan mengundang beberapa narasumber, yaitu Prof. Dr. Wening Udasmoro, S.S., M.Hum selaku peneliti bahasa Enggano, Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, M.A., M.Phil selaku antropolog, Dr. Aprilia Firmanosari, S.S., M.Hum. sebagai ahli bahasa, dan Dr. Agr.Sc Ir. Hatma Suryatmojo, S.Hut., M.Si., IPU selaku produser dari film Senja Kala Bahasa Enggano. Selama acara ini berlangsung, peserta diputarkan sebuah film dokumenter yang berjudul Senja Kala Bahasa Enggano sebagai sebuah awal permulaan untuk memperkenalkan bahasa Enggano.

Dipilihnya bahasa Enggano sebagai objek material adalah sebagai imbauan kepada teman-teman bahwa masih ada bahasa daerah yang harus dilestarikan guna melindungi esensi dari peradaban. “Hilangnya satu bahasa menunjukkan hilangnya sebuah peradaban dari muka bumi,” ujar Pak Hatma. Ketakutan akan punahnya suatu bahasa daerah diungkapkan oleh salah satu narasumber yang menyatakan bahwa dalam kurun waktu 2015–2024 sudah terdapat 1 bahasa yang hilang, jumlah yang sebelumnya ada pada angka 12 kini turun menjadi 11 bahasa daerah. “Faktor punahnya bahasa daerah disebabkan oleh dua faktor, yang pertama adalah penutur bahasa yang lambat laun berkurang, yang kedua adalah fungsi komunikasinya yang hilang,” ujar Dr. Aprilia Firmanosari. Selain karena dua faktor tersebut, disinggung bahwa perkembangan zaman dari tahun ke tahun melahirkan fenomena kebocoran diglosia, yang disebutkan dalam dunia linguistik sebagai fenomena bercampurnya ragam bahasa secara bersamaan. Hal inilah yang memengaruhi akan eksistensi bahasa Enggano.
“Kalau di Enggano mungkin kita baru menemukan orang yang berbahasa Enggano atau bahasa Enggano itu baru muncul setelah mahasiswa KKN menyelenggarakan festival Enggano. Selain itu, tidak ada sehingga orang tidak mengenal kalau ada bahasa Enggano di Pulau Enggano, bahkan termasuk oleh para pendatang yang ada,” jelas Dr. Agr.Sc. Ir. Hatma Suryatmojo, S.Hut., M.Si., IPU. Beliau juga mengungkapkan bahwa hanya generasi tua di Desa Apoho dan Meok saja yang dapat menuturkan bahasa Enggano, sementara generasi muda sudah tidak memahami bahasa tersebut, sehingga perlu dilakukan berbagai cara dalam preservasi bahasa ini.
Prof. Heddy juga mengungkapkan bahwa sulitnya menemukan sumber belajar formal, seperti guru dan buku bahasa daerah dapat mempercepat kepunahannya. “Dalam kaitannya dengan bahasa daerah, kepunahan itu terjadi karena ada bahasa-bahasa yang lebih berpengaruh dan mempunyai fungsi lebih besar, terutama bahasa Indonesia. Ketika bahasa Indonesia menjadi sarana komunikasi yang lebih memungkinkan daripada bahasa daerah maka bahasa daerah itu akan terpinggirkan” tegasnya.
Dalam menghadapi situasi seperti ini perlu dilakukan reservasi bahasa, baik secara aktif maupun pasif. Secara aktif dapat dilakukan dengan mengajarkan bahasa daerah ke sekolah-sekolah dan harus dilakukan secara sistematis. Namun, sifat bahasa daerah yang unconscious atau nirsadar dan tata bahasa yang kurang jelas menjadi tantangan tersendiri. Oleh karena itu, pemahaman yang baik mengenai grammar sangat penting dalam mengajarkan bahasa daerah agar dapat disampaikan dengan baik, benar, dan mudah.
Sementara itu, reservasi pasif dapat dilakukan dengan pendirian museum bahasa yang menyimpan percakapan-percakapan dalam bahasa daerah. Sehingga pengunjung dapat datang langsung ke museum untuk belajar bahasa daerah tersebut. “Kalau kita mempelajari bahasa itu menggunakan etnosains, kita bisa mengungkap banyak sekali pengetahuan lokal yang sangat bermanfaat untuk kita,” tutup Prof. Heddy.
Salah satu mahasiswa bernama Nur Khairun Nisa dari program studi Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2022, mengungkapkan alasannya mengikuti acara ini adalah ketertarikan terhadap topik yang dibahas serta tokoh yang menyampaikannya. “Jadi, saya punya interest tentang bahasa daerah. Beberapa waktu lalu saya membuat esai-esai tentang pentingnya bahasa daerah, bahasa ibu,” ungkap Nisa.
Setelah mengikuti kajian ini, Nisa mengungkapkan bahwa ia mendapatkan wawasan baru tentang revitalisasi bahasa Enggano dan bahasa daerah di Indonesia. Awalnya, ia beranggapan bahwa menjaga suatu bahasa hanya bisa dilakukan dengan terus menuturkannya. Namun, setelah mendengarkan materi dari para narasumber, ia menyadari bahwa penting untuk menjadikan bahasa daerah sebagai mata pelajaran di sekolah. “Meskipun orang tua mengajarkan anak-anaknya bahasa Indonesia sejak kecil karena merasa penting, anak-anak dapat mengenal bahasa daerahnya dari sekolah,” ujarnya. Jika pembelajaran bahasa daerah dilakukan secara maksimal, ia yakin anak-anak akan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, dapat dilakukan dengan dokumentasi, baik dengan cara membuat kamus bahasa daerah maupun dengan karya sastra berbahasa daerah serta melakukan sosialisasi mengenai pentingnya pelestarian bahasa tersebut. Nisa juga menekankan pentingnya melestarikan bahasa daerah karena ribuan bahasa yang dimiliki Indonesia merupakan aset berharga yang tidak dimiliki negara lain yang menggambarkan identitas dan keunikan daerah masing-masing. “Bayangkan jika semua orang hanya menggunakan satu bahasa dan logat yang sama, kita akan kehilangan keindahan keberagaman yang ada,” ujarnya.
Hal serupa juga disampaikan oleh Shaumi Fadhila mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2022. Ia mengungkapkan bahwa baru saja mengetahui bahasa Enggano dari kajian ini. “Saya baru tahu tentang bahasa Enggano dari acara ini. Jadi, saya tahu bahasa Enggano ketika bahasa tersebut sudah terancam punah,” ujarnya. Shaumi menyadari bahwa untuk menjaga kelestarian bahasa daerah penting untuk bangga menuturkannya. Ia menekankan bahwa sebuah bahasa tanpa penuturnya akan dilupakan dan ditinggalkan seiring waktu. Menurutnya, pelestarian bahasa daerah sangat penting karena merupakan bagian dari identitas dan mencerminkan peradaban yang terbentuk di suatu lingkungan. “Punahnya suatu bahasa sama saja dengan punahnya peradaban,” tegasnya. Dengan demikian, melestarikan bahasa daerah tidak hanya berarti mempertahankan bahasa itu sendiri, tetapi juga melestarikan identitas dan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya.
Reporter: Naila Alfi/Bul
Penulis: Merie Nahdah, Nana/Bul
Editor: Haikal/Bul