Di sebuah sudut hutan yang lebat nan asri, hiduplah seorang perempuan menghuni rumah kayu sederhana berhalaman kecil. Karena hobinya menanam bunga, ia menghiasi halaman kecil rumahnya dengan bebungaan warna-warni yang telah dirawatnya selama bertahun-tahun. Kini, rimbunnya bunga yang ditanamnya itu telah membuat halamannya bak lukisan yang membuai mata.
Tak hanya menanam bunga, ia juga menanam beberapa sayur dan buah kesukaannya di samping rumah untuk dikonsumsi sehari-hari. Jika berlebih, ia sering menjualnya ke pasar untuk mendapatkan sedikit imbalan.
Namun, di tengah kehidupannya yang tampak biasa, ada sesuatu yang berbeda dari perempuan itu yang telah disembunyikannya selama bertahun-tahun. Sebenarnya, ia adalah seorang putri yang terasing karena kutukan yang menimpanya. Sebuah kutukan yang membuatnya berubah menjadi buruk rupa dari tengah malam sampai fajar.
Kutukan yang dibuat oleh seorang penyihir yang benci dengannya itu hanya bisa tercabut jika ia mampu membuat menara yang bisa menyentuh negeri awan. Oleh karena itu, di tengah pengasingannya, perempuan itu bekerja keras sepanjang hidupnya untuk membangun menara di belakang rumah kayunya demi mematahkan kutukan.
Pada suatu hari, di tengah kesibukannya membangun menara yang telah dilakukannya sepanjang hidup, seorang pemuda lewat di sekitar rumahnya dan mendapatinya tengah sibuk mengumpulkan bebatuan.
“Permisi, bolehkan saya bertanya arah?” tanya pemuda tersebut, tampak senang ketika berhasil menemukan seseorang di tengah hutan lebat yang tampak tak berujung itu.
Sang perempuan meninggalkan kesibukannya sejenak dan membalas pertanyaan sang pemuda dengan ramah, “Ya, silakan. Ke mana tujuan Anda?”
“Saya ingin ke Negeri Lamba.”
Sang perempuan tersenyum sekilas, “Ke arah sana,” ujarnya sembari menunjuk arah Utara, “berjalanlah sampai menemukan jembatan kayu di ujung jalan ini. Lamba ada di seberangnya.”
Pemuda itu memasang wajah cerahnya mendengar petunjuk dari sang perempuan, “Baik, terima kasih atas petunjuknya.”
Namun, tidak langsung melanjutkan langkah, pemuda itu tampak tertarik dengan tanaman buah di samping rumah sang perempuan yang kini sedang berbuah banyak. Matanya terpaku lama pada bebuahan yang tampak melambai-lambai minta dipetik itu.
“Apakah Anda menjual buahnya?” pemuda itu menunjuk pada pohon apel di samping rumah kayu sang perempuan.
“Anda mau? Anda boleh mengambilnya jika Anda ingin,” jawab sang perempuan cepat.
“Ah, tidak, saya akan membelinya,” pemuda itu mengeluarkan beberapa keping uang koin dari sakunya.
“Tidak usah,” sang perempuan mengeluarkan senyum ramahnya, “kebetulan sedang berbuah banyak, jadi saya ingin berbagi.”
Sang perempuan dengan cepat menghampiri pohon apelnya dan memasukkan sejumlah buah yang matang ke dalam kantung jerami.
“Nikmatilah sembari perjalanan. Lamba masih jauh,” ucap sang perempuan sembari menyerahkan sekantung apel yang matang menggoda.
“Anda baik sekali, terima kasih banyak,” balas sang pemuda sembari menerima sekantung apel itu dengan wajah kagumnya. “Kalau boleh tahu, siapa nama Anda, nona?”
Sang perempuan tampak ragu sejenak mendengar pertanyaan pemuda itu.
“Tidakkah saya boleh mengetahuinya?” sang pemuda memastikan.
“Alie, nama saya Alie,” jawab sang perempuan akhirnya, “kalau Anda sendiri?”
Sang pemuda tersenyum sekilas, “Senang bertemu dengan Anda, Alie. Anda bisa memanggil saya Phin.”
Keduanya melempar senyum ramah bersamaan setelah perkenalan itu. Kemudian, Phin meneruskan perjalanan setelah berterima kasih sekali lagi pada Alie yang melanjutkan kesibukannya setelah sosok Phin mulai menghilang di kejauhan.
Tidak ada yang menyangka bahwa pertemuan pertama itu akan berlanjut menjadi pertemuan kedua, ketiga, dan seterusnya. Phin yang mengetahui keberadaan Alie di tengah hutan itu dengan sengaja sering lewat dan menyapa. Hingga suatu hari, ia memutuskan untuk singgah lebih lama.
“Sebenarnya apa yang kau lakukan? Mengapa kau membangun menara setinggi itu?” Phin menatap pada menara batu yang kini sudah hampir setinggi dua puluh kali orang dewasa.
“Untuk mematahkan kutukan,” jawab Alie sambil menatap kosong pada langit biru yang dihiasi awan-awan tipis siang itu.
“Kutukan apa?” balas Phin dengan wajah bertanyanya.
Alie hanya diam saja, wajahnya menyiratkan keraguan besar yang tersimpan di dalam benaknya.
“Tak usah dijawab jika kau tak berkenan,” Phin melempar senyum menenangkannya, “namun, bolehkah aku membantumu membangunnya?”
Alie mengalihkan pandangannya, menatap tak percaya pada Phin yang kini melempar senyum hangat padanya. “Apa aku tak salah dengar?” tukas Alie memastikan.
“Tidak. Aku ingin membantumu,” Phin menegaskan perkataannya. Sorot matanya menunjukkan keyakinan yang dalam dan ketulusan hingga membuat Alie kemudian mengangguk yakin atas bantuan yang ditawarkannya.
Sejak saat itulah, pekerjaan membangun menara berjalan lebih cepat dua kali lipat dengan bantuan Phin yang bekerja sama kerasnya dengan Alie. Tanpa sadar, di tengah kerja sama mereka membangun menara, kedekatan yang terjalin dari waktu ke waktu menimbulkan percik kasih yang berubah menjadi rasa cinta di antara keduanya. Hingga kemudian di suatu siang yang cerah, Phin akhirnya memberanikan diri mengungkapkan perasaannya.
“Aku menaruh rasa padamu. Maukah kau menikah denganku?” tanya Phin dengan harap-harap cemas di hatinya.
Alie mengalihkan pandangannya pada Phin yang kini tengah menatapnya dengan penuh kesungguhan. Ia terpaku sejenak, memikirkan sesuatu yang mengganggu pikiran dan perasaannya. Di satu sisi, perasaannya sama seperti Phin. Namun, di sisi lain, ia ragu tentang rahasia yang telah disembunyikannya selama ini dari Phin, tentang ia yang akan berubah menjadi buruk rupa ketika tengah malam tiba.
“Aku rasa aku tak pantas untukmu, Phin. Ada sesuatu yang kusembunyikan selama ini darimu yang kuyakin kau tak akan menyukainya.”
Phin menatap penuh tanda tanya pada Alie yang kini menunduk menatapi rerumputan hijau di bawah kakinya dengan wajah penuh keraguan.
“Aku tak tahu kau siap mendengarnya atau tidak,” Alie berhenti sejenak, berpikir kembali apakah ia harus mengungkapkannya. “Tapi aku akan berubah menjadi buruk rupa ketika tengah malam tiba. Meskipun itu hanya sampai fajar, kau pasti tak akan suka melihatnya,” nada sedih terdengar dari pernyataan Alie. Aura semangat dari wajahnya juga seketika hilang ketika rahasia itu diungkapkannya. “Itulah kutukan yang berusaha kupatahkan selama ini,” kini tangis Alie pecah seiring dengan bahunya yang mulai bergetar.
Melihat itu, Phin pun menangkap bahunya, memeluknya dengan hangat untuk menenangkan Alie yang kini menangis hebat, “Jadi, selama ini kau membangun menara itu untuk mematahkannya?”
Alie mengangguk, “Ya, aku bekerja keras selama ini untuk itu,”
“Kalau begitu, mari kita patahkan kutukan itu bersama,” Phin melempar senyum hangatnya, meyakinkan Alie sekali lagi akan kesungguhannya.
Setelah terdiam beberapa lama karena berkutat dengan kebingungannya, Alie pun mengulas senyumnya, menerima tawaran Phin untuk menikah dan hidup bersama.
***
Setelah memutuskan hidup bersama, hari-hari Alie dan Phin semakin diliputi kebahagiaan. Keduanya menikmati kebersamaan mereka. Phin yang telah mengetahui kutukan Alie tak menunjukkan keberatannya dan terus membantu Alie untuk mematahkan kutukan tersebut.
Tak hanya hari yang berjalan menjadi lebih baik ketika bersama, Alie dan Phin juga menjadi lebih giat lagi membangun menara. Hasil membangun menara pun tampak memuaskan. Kini ujungnya bahkan sudah lebih tinggi dari pegunungan yang berada di Selatan hutan lebat yang mengelilingi rumah kayu yang mereka tinggali.
Mengetahui bahwa usaha Alie membangun menara sudah menunjukkan kemajuan cepatnya, Alana—penyihir yang memberikan kutukan untuk Alie—geram tak terkira. Di tengah malam yang pekat nan dingin, didatanginya menara yang hampir menyentuh negeri awan itu. Ia menatap lama pada menara yang dibangun Alie dan Phin selama bertahun-tahun itu dengan api kebencian yang berkobar di kedua bola matanya. Lalu, dengan kekuatan yang dimilikinya, dirobohkannya menara di depan matanya dalam sekali mantra.
Merasa telah berhasil menghancurkan hidup Alie sekali lagi, Alana tertawa sekencang-kencangnya malam itu, menghiasi keheningan hutan dengan suara seraknya yang nyaris sama seperti suara burung gagak.
Alie yang terkejut dengan keributan di belakang rumahnya spontan terbangun dari tidur nyenyaknya. Dengan kesadaran yang berusaha dibangun selepas tersadar dari alam mimpi, ia bergegas memeriksa apa yang tengah terjadi di belakang rumah yang biasanya penuh ketenangan itu.
Bak petir yang menyambar, Alie terkejut bukan main saat melihat menara yang sudah dibangunnya dengan segenap tenaga selama ini runtuh berantakan. Tak jauh dari sana, sosok Alana terlihat tengah berkacak pinggang sambil tertawa penuh kemenangan.
“Kau tak akan pernah bisa mematahkan kutukan itu, Alie!” cetus Alana dengan nada congkaknya. Matanya menatap Alie dengan sorot kemenangan dan senyum mengejek yang tercetak jelas di bibirnya.
Alie mengepalkan tangan dan menggertakkan giginya keras-keras, bersumpah dalam hati akan membalas perbuatan buruk Alana yang sedari awal memang tak suka padanya. Dengan hati penuh kekesalan, disambarnya sebuah batu besar di bawah kakinya dan dilemparkannya ke arah Alana dengan wajah marah.
Melihat Alie yang tiba-tiba berani menyerangnya, Alana merasa tak terima dan hendak membalas. Namun, tepat saat itu juga, Phin tiba-tiba muncul dari dalam rumah dan melesatkan sebuah anak panah ke arah Alana—tepat ke arah jantung.
“Kau harus merasakan pelajaran yang seharusnya,” ujar Phin tegas, wajahnya menunjukkan sorot kemarahan yang tak terbendung.
Tak waspada dengan serangan mendadak Phin, Alana terhuyung bersamaan dengan menancapnya anak panah beracun itu tepat di jantungnya. Tak sempat terkejut, apalagi membalas, ia merasa seketika darahnya perlahan berhenti mengaliri tubuhnya dan kedua matanya tak mampu lagi membuka.
Melihat kekalahan Alana, Alie dan Phin kemudian menyeret tubuh kakunya ke laut, membiarkannya hanyut bersamaan dengan ombak besar yang menelan tubuh Alana bak paus hitam yang tengah menyantap makan malamnya.
***
Setelah peristiwa runtuhnya menara malam itu, Alie tak menunjukkan rasa menyerahnya. Apalagi, Alana telah mati dan tak mungkin mengganggunya lagi. Ia pun dengan penuh kesabaran membangun kembali menara yang telah runtuh itu dari awal, dibantu Phin yang membantu dengan senang hati.
Purnama demi purnama berlalu, menara yang mereka bangun akhirnya berhasil menyentuh negeri awan juga. Alie dan Phin pun bersuka ria bersama merayakan keberhasilan yang selama ini telah mereka tunggu-tunggu. Kemudian, tepat tengah malam pada hari itu juga, langit berubah menjadi keunguan dan bertabur awan pekat yang berbentuk seperti kapas-kapas yang bergumpal. Bersamaan dengan itu, kutukan Alie tercabut. Namun, anehnya, bukannya menjadi cantik selamanya, yang terjadi malah sebaliknya. Wajah cantik Alie tak pernah kembali dan hanya ada wajah buruk rupa yang biasanya hanya dilihatnya ketika tengah malam sampai fajar.
Melihat perubahan yang tak disangka-sangka itu, Alie dan Phin tak mampu menyembunyikan keterkejutan sekaligus kekecewaan mereka. Padahal, keduanya sudah berharap bahwa setelah kutukan hilang, Alie akan berubah menjadi cantik selamanya, bukan malah sebaliknya.
Karena kekecewaan mendalamnya, Alie pun terus mengurung diri di kamar. Bebungaan di depan rumahnya tak lagi terawat. Makin hari, daun-daunnya berubah menjadi kekuningan, kemudian menjadi kecoklatan seiring dengan semakin hilangnya kehidupan di dalamnya, dikuras oleh panas matahari yang begitu terik menerpa. Begitu pula tanaman buah di sekitar rumahnya. Kini, tanaman-tanaman buah itu tak lagi berbuah lebat, hanya menyisakan ranting-ranting yang meranggas dengan dedaunan yang terus rontok tiap harinya.
Perubahan ini tidak hanya membuat terpukul Alie seorang. Phin yang sebenarnya sudah kecewa sejak kutukan Alie tercabut—yang membuatnya jadi buruk rupa selamanya—berangsur-angsur menjadi lebih kecewa setelah melihat perubahan Alie yang tak lagi ceria.
Phin yang awalnya masih berusaha berperilaku biasa saja mulai sering mengeluhkan perilaku Alie yang tidak lagi sering berinteraksi dengan dirinya, juga dunia sekitar. Ditambah lagi, memandang wajah Alie tak lagi semenyenangkan dulu. Jika dulu ia masih bisa menikmati wajah cantik nan ceria Alie sampai tengah malam, kini ia tidak bisa lagi melihat itu. Hanya wajah buruk rupa yang dilihatnya setiap hari. Belum lagi, kemurungan Alie membuatnya tampak diliputi aura gelap tiap harinya, seperti tak ada kehidupan yang tersisa.
Kini, Phin merasa semua sisi dalam diri Alie tak ada lagi yang bisa membuatnya bertahan. Akhirnya, pada suatu malam yang dingin, Phin pergi meninggalkan Alie di rumah kayunya setelah meninggalkan sepucuk surat di meja makan.
Alie yang baru menemukan surat itu dua hari setelahnya menangis sejadi-jadinya. Kini hidupnya hancur sudah. Tak ada lagi yang tersisa. Kecantikannya hilang, satu-satunya orang yang dipercayainya juga pergi meninggalkannya. Alie pun menangis meraung-raung dari hari ke hari hingga air matanya habis. Tubuhnya pun berubah menjadi kurus kering layaknya tanaman-tanaman di depan rumahnya yang makin hari juga makin layu.
Alie yang putus asa dengan hidupnya pun mencapai puncak kekecewaannya. Pada suatu malam yang benar-benar gelap dan pekat karena gerhana bulan di luar sana, Alie dengan langkah terseret dan wajah muramnya mengambil tali dari dapur, berpikir untuk mengakhiri hidupnya dalam balutan pekat malam yang berbaur udara dingin nan menusuk tulang.
“Bukan begitu cara yang benar menjalani hidup, Alie,” bisik sebuah suara lirih, tepat ketika ia selesai membuat simpul.
***
Penulis: Tri Angga/ Bul
Editor: Yesika F. Rezky/ Bul