Rentannya Buruh Pekerja Sektor Akademik di Tengah Gempuran Depolitisasi dan Neoliberalisme di Perguruan Tinggi

Action Festival 2023 yang diadakan pada hari Sabtu (28/10) di Smart Green Learning Center (SGLC) Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (FT UGM) membuka diskusi tentang serikat buruh akademik (foto: Naufal/ Bul)

Action Festival 2023 yang diadakan pada hari Sabtu (28/10) di Smart Green Learning Center (SGLC) Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (FT UGM) dan mengangkat tema “Aksi, Kolaborasi, Serikat” membuka diskusi tentang serikat buruh akademik sebagai pembahasan utama. Kegiatan talkshow yang merupakan rangkaian dari Action Festival 2023 ini mengundang dua pembicara yaitu Andreas Budi (Dosen Sosiologi UGM dan peneliti ketenagakerjaan) dan Muctar Habibi (Dosen Manajemen dan Kebijakan Publik UGM dan penulis buku “Kelas Pekerja dan Kapital di Indonesia”). Keduanya juga merupakan anggota dari Serikat Pekerja Fisipol yang dibentuk atas dasar keresahan para dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) tentang adanya kerentanan buruh pekerja di sektor akademik.

Acara ini diadakan sebagai wadah untuk menggelorakan kembali semangat pergerakan mahasiswa serta meningkatkan kesadaran mahasiswa akan perlunya serikat pekerja. “Sebenarnya di area Teknik ini jarang orang tahu tentang serikat kerja, padahal sebenarnya serikat kerja ini wajib diketahui untuk seluruh mahasiswa, Teknik khususnya,” ungkap Zaid Muhammad Al Fatih (Teknik ’22) selaku panitia acara Action Festival 2023, “karena ke depannya, mereka setelah lulus nanti bakal berkecimpung di dunia perburuhan,” sambungnya. 

Dalam pembahasan talkshow, pembicara pertama memaparkan tentang depolitisasi dan neoliberalisme dalam dunia akademik perguruan tinggi. “Depolitisasi itu terjadi ketika ada invasi bahwa seluruh institusi negara yang harus melakukan pelayanan publik dijadikan institusi yang harus melahirkan profit,” jelas Andreas. Andreas mencontohkan fenomena itu dengan adanya dorongan bagi departemen-departemen di kampus untuk menghasilkan profit, di mana kemudian itu menimbulkan persaingan antardepartemen dan departementalisasi yang membuat orang terkotak-kotakkan. 

Andreas juga menyinggung tentang neoliberalisme yang semakin didorong internalisasinya di dalam mata kuliah yang ada di kampus. “Pendidikan neoliberal itu sudah menjelma di dalam mata kuliah-mata kuliahnya,” papar Andreas. Ia mencontohkan itu dengan adanya mata kuliah atau seminar kewirausahaan yang semakin marak.

Di akhir pemaparannya, Andreas mengungkapkan kekhawatirannya dari adanya neoliberalisme yang makin merasuk, di mana itu berpotensi mengikis pemikiran kritis para sivitas akademika dan hanya berfokus pada orientasi pemenuhan kebutuhan industri kapitalisme saja. Oleh karena itu, di akhir, Andreas mengajak kepada segenap peserta yang hadir dan masyarakat untuk bergerak bersama, membangun kesadaran kolektif, dan bersikap kritis terhadap adanya neoliberalisme yang semakin mengakar di lingkungan akademik perguruan tinggi ini.

Di sisi lain, pembicara kedua, Mochtar Habibi, menggarisbawahi tentang kerentanan para buruh pekerja di sektor akademik—salah satunya dosen. Insentif yang tidak memadai serta tidak sesuai dengan beban kerja menjadikan banyak dosen mencari cara lain untuk mendapat tambahan dari gaji yang tidak lebih terlalu banyak dari upah minimum regional (UMR) itu, misalnya dengan menjadi konsultan, melakukan riset, proyek, dan sebagainya. “Ini adalah strategi-strategi yang sifatnya individual, makanya terjadi ketimpangan,” ungkap Habibi, “mereka pakai jalan sendiri-sendiri untuk survive dan akumulasi.”  

Habibi juga menyoroti bagaimana kerentanan dosen ini bisa berakibat buruk kepada mahasiswa dan kualitas pendidikan di Indonesia. “Dosen harus kerja ekstra di luar hal-hal yang menjadi tugas pokoknya, di mana akhirnya korbannya adalah mahasiswa dan di ranah yang lebih luas adalah kualitas pendidikan akan menurun,” jelasnya. 

Meskipun demikian, Habibi mengungkapkan bahwa di Indonesia sendiri, masih minim dosen-dosen di Indonesia yang mau berserikat. “Salah satu alasan kenapa banyak dosen di Indonesia itu nggak mau terlibat dalam aktivitas-aktivitas kolektif bernama serikat adalah mereka masih menganggap dirinya bukan pekerja,” celetuknya. Padahal, tidak ada jaminan bahwa berbagai cara yang biasanya dilakukan oleh para dosen untuk mendapat tambahan insentif itu akan tersedia selamanya. Maka dari itu, ia berharap agar para pekerja buruh di sektor akademik semakin sadar akan kerentanan mereka dan mulai berserikat. 

Serikat Pekerja Fisipol adalah salah satu serikat pekerja yang ada di UGM dan merupakan serikat pekerja yang diikuti olehnya, tetapi Habibi berharap agar ini bisa mendorong munculnya serikat pekerja di fakultas lain. “Kita pengin muncul serikat-serikat pekerja di fakultas lain yang tidak hanya dosen, tetapi tendik dan pekerja-pekerja yang lain,” pungkasnya. 

Melalui pemaparan dari kedua pembicara, Mutiara Eka Athaillah (Geografi ’22) yang merupakan peserta talkshow mengungkapkan pendapatnya tentang topik yang dibahas, “Topik talkshow ini cukup interesting ya, tentang keadaan pekerja di Indonesia, apalagi khususnya di lingkungan universitas, baik dari dosen maupun mahasiswanya,” ungkap Mutiara. Ia mengaku bahwa setelah mengikuti talkshow ini, pengetahuan dan kesadarannya tentang serikat pekerja bertambah, ditambah lagi ia juga semakin terbuka akan realitas dan tantangan di dunia kerja.

Penulis: Tri Angga/ Bul 

Editor: Nisa Asfiya/ Bul 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here