The Conversation Indonesia (TCID) telah menyelenggarakan sebuah diskusi publik dengan topik Urgensi Kolaborasi Media dan Akademisi Melawan Disinformasi pada Selasa (27/6). Diskusi menghadirkan pembicara dari dua kalangan yakni perwakilan media dan akademisi. Media diwakili oleh Ketua Bidang Internet Aliansi Jurnalis Independen Adi Marseila dan Cief Detiro TCID Ika Krismantari. Sedangkan perspektif akademisi didapatkan dari Dosen Ilmu Komunikasi UGM dan Pembina SKM Bulaksumur UGM Zainuddin Muda Z. Monggilo dan Associate Professor Monash University Indonesia Ika Karlina Idris. Diskusi yang diselenggarakan secara daring tersebut mengulas beberapa poin penting, mulai dari kian maraknya disinformasi menjelang pemilu, peran media sosial serta AI dalam penyebarannya, hingga tantangan dalam menavigasi masyarakat demi mencegahnya.
Disinformasi politik kian marak jelang pemilu 2024
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencatat bahwa data terkait disinformasi semakin meningkat menjelang pemilihan umum. Dilansir dari laman kominfo.go.id, terjadi peningkatan jumlah berita hoaks mendekati pemilu tahun 2019 silam, khususnya pada bulan April yang bertepatan dengan momentum pilpres dan pileg. Terdapat setidaknya 501 berita hoaks yang ditemukan pada bulan tersebut.
Diskusi diawali dengan pandangan keempat narasumber terkait dengan disinformasi politik. Adi Marsiela membuka diskusi dengan menyampaikan potensi hoaks yang kian meningkat dan bisa memberikan efek buruk pada pemilu. Ika Karlina Idris menyambung dengan potensi media abal-abal berkedok kreasi konten yang menambah riuh disinformasi yang terjadi di media digital. Sementara itu, Zainuddin Muda Z. Monggilo mengungkap bahwa pemilih muda dan pemilih pemula sebagai pemilih terbesar berpotensi disesatkan pilihannya karena disinformasi politik yang beredar. Senada dengan itu, Ika Krismantari menganggap bahwa kontestasi pemilu 2024 adalah hajatan semua pihak dan karenanya perlu dipersiapkan sebaik mungkin, termasuk dalam mengantisipasi cemaran disinformasi ini.
Media sosial masih jadi pekerjaan rumah bagi penyelenggara pemilu
Seluruh pembicara sepakat bahwa media sosial adalah ranah digital yang menambah deret persoalan disinformasi di tahun politik. Salah satu yang menjadi sorotan dalam diskusi ini adalah pelaksanaan kampanye. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai salah satu lembaga yang mengatur dan mengawasi pelaksanaan pemilu sedianya telah mengeluarkan permintaan untuk memperketat penggunaan media sosial dalam konteks kampanye politik. Tujuan mereka adalah memastikan setiap pihak yang terlibat dalam kampanye mematuhi aturan yang berlaku. Jika aturan tersebut tidak dipenuhi, Bawaslu berhak menolak kampanye karena tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Diungkap dalam diskusi, pemerintah mengakui adanya celah dalam regulasi saat ini. Maka dari itu, revisi terhadap beberapa pasal yang menjadi celah tersebut menjadi penting untuk memperbaiki situasi ini.
Zainuddin Muda Z. Monggilo memaparkan bahwa untuk menghadapi tantangan ini, diperlukan pemantauan yang lebih ketat, terutama dalam mengidentifikasi kampanye hitam dan membedakan periode sebelum kampanye yang rawan terhadap praktik-praktik yang merugikan. Ia juga menambahkan bahwa generasi Z dan milenial, yang dapat menjadi sasaran empuk dari hoaks dan disinformasi, perlu diberikan pemahaman yang baik agar mereka tidak terpengaruh dan dapat membuat pilihan yang benar. Media sosial seperti TikTok juga menjadi perhatian karena memiliki potensi menjadi sarang penyebaran misinformasi. Meskipun implementasi regulasi yang mengikat dapat menjadi tantangan bagi banyak platform, langkah-langkah perbaikan harus dilakukan untuk mengatasi masalah ini secara efektif.
Tantangan dan peluang mencegah disinformasi politik
Zainuddin Muda Z. Monggilo dan Ika Idris menyebutkan bahwa posisi akademisi sebagai salah satu produsen pengetahuan masih terbatas gerak-geriknya untuk menumpas disinformasi ini. Pengecekan terhadap disinformasi seharusnya tidak hanya dilakukan oleh tim cek fakta atau melalui literasi media, karena takutnya jika terlalu banyak, hasilnya justru tidak akan efektif. Hal ini senada dengan yang diutarakan Adi Marsiela dan Ika Krismantari. Dari sisi media, keduanya mengafirmasi bahwa praktik cek fakta yang sudah dari dulu dilakukan media masih menemui tantangan. Tidak saja dari segi jumlah hoaks yang tersebar secara cepat dalam jumlah masif, tetapi juga karena keterbatasan sumber daya pemeriksa fakta untuk mengeceknya. Di samping itu, tantangan teknologis lainnya juga mencuat. Misalnya saja kecerdasan buatan seperti deepfakes atau ChatGPT yang memudahkan manipulasi informasi.
Oleh karena itu, adanya upaya kolaboratif yang melibatkan berbagai pihak, tidak saja akademisi dan media, tetapi hingga masyarakat akar rumput sangat diperlukan. Diperlukan peningkatan literasi media dan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana disinformasi dapat menyebar dan memengaruhi masyarakat. Selain itu, penggunaan teknologi seperti AI juga perlu diperhatikan dengan cermat, agar bisa diminimalkan penyebarannya dalam disinformasi. Terlebih, perlawanan terhadap disinformasi politik ini juga bertujuan untuk menciptakan pemilu yang lebih baik dan demokratis untuk semua kalangan.
Dalam rangka mengantisipasi penyebaran disinformasi, Divisi Penelitian dan Pengembangan SKM UGM Bulaksumur memiliki program khusus bernama Cek Fakta. Kanal Cek Fakta membahas berbagai macam fenomena yang ditulis berdasarkan sumber terpercaya sehingga dapat meminimalisir perkembangan disinformasi di tengah masyarakat. Kanal ini dapat dikunjungi dengan mengakses laman resmi SKM UGM Bulaksumur.
Penulis: Anita, Puri/ Bul
Editor: Yoni/ Bul
Sumber data: