Memperjuangkan Kebebasan Pers, Memperjuangkan Hak Asasi

Penganugerahan Nobel Perdamaian kepada Dmitry Muratov dan Maria Ressa pada tahun 2021 lalu menjadi momen bersejarah bagi jurnalisme. Muratov, pemimpin media alternatif Rusia Novaya Gazeta, diakui atas perannya dalam mewartakan korupsi dan pelanggaran HAM yang terjadi di negara Beruang Merah itu. Sedangkan, Ressa diakui atas perannya dalam mewartakan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Rodrigo Duterte selama masa jabatannya sebagai orang nomor satu di Filipina. Ressa yang saat itu dituduh terlibat dalam kasus penggelapan pajak juga menjadi figur Filipina pertama yang memperoleh hadiah Nobel.

Meski bersejarah, penganugerahan Nobel Perdamaian kepada dua jurnalis tersebut turut memperlihatkan kenyataan pahit yang dialami banyak jurnalis di seluruh dunia. Pengakuan komite Nobel atas peran Muratov secara tidak langsung menyingkap tabir mengenai masalah kekerasan terhadap jurnalis di Rusia. Sebagaimana dilansir oleh Committee to Protect Journalists, terdapat 82 jurnalis yang dibunuh di Rusia sejak 1992. Adapun 5 di antaranya bekerja di organisasi yang dipimpin Muratov saat mereka dibunuh. Muratov pun menyatakan secara terbuka bahwa hadiah Nobel yang ia terima berhubungan dengan kematian rekan-rekannya. “Aku mendapatkan Nobel karena mereka mati,” ujarnya.

Sebaliknya, pengakuan komite Nobel atas peran Ressa mengungkap masalah represi pers di Filipina. Represi yang dilakukan pemerintah itu ditujukan pada sejumlah organisasi, salah satu di antaranya adalah Rappler, organisasi yang menaungi Ressa. Pada tahun 2022 lalu, pemerintah Filipina sempat meminta Rappler untuk menutup situs webnya. Penutupan itu dilandasi putusan dari lembaga regulator setempat untuk mencabut izin bagi situs web Rappler karena organisasi tersebut dinilai melanggar peraturan kepemilikan pihak asing. Namun, banyak pihak menduga penutupan tersebut dipicu oleh pemberitaan Rappler mengenai operasi keamanan berdarah yang dilakukan pemerintah Filipina untuk memberantas peredaran narkoba (Wee, 2022).

Kenyataan yang diungkap oleh pengakuan terhadap Muratov dan Ressa menunjukkan harga mahal yang harus mereka bayar. Namun, di satu sisi, pengakuan tersebut juga menegaskan pentingnya kebebasan pers bagi perkembangan hak asasi manusia dan demokrasi di Rusia dan Filipina. Pesan tersebut turut disertakan Ressa dalam bukunya How to Stand Up to a Dictator: The Fight for Our Future (2022). Dalam buku itu, Ressa menyatakan:

“Tanpa fakta, tidak akan ada kebenaran. Tanpa kebenaran, tidak akan ada kepercayaan. Tanpa ketiganya, tidak akan ada kenyataan yang dapat disepakati, dan demokrasi yang kita ketahui —- beserta semua perjuangan umat manusia —- akan mati.”

Sebagai penutup, penulis hendak menegaskan bahwa kebebasan pers tidak bisa dipisahkan dari demokrasi maupun penegakkan hak asasi. Maka dari itu, kebebasan pers seharusnya dihayati dan dipelihara, bukan diterima begitu saja. Sebab, tanpa kebebasan pers, semua itu dapat hilang dalam sekejap mata.

Penulis: Gregorius Arimurti/Bul

Editor  : Sekar Langit/Bul

Sumber:

Wee, S.-lee. (2022, June 29). Philippines orders Rappler to shut down. The New York Times. Retrieved April 30, 2023, from https://www.nytimes.com/2022/06/29/world/asia/philippines-rappler-shutdown.html 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here