
Penyediaan fasilitas menjadi kredo yang hendak dipenuhi rektorat. Namun, biaya ini-itu di balik pengelolaan GIK tidak menjamin fasilitas itu sepenuhnya gratis. Lantas, bagaimana mahasiswa perlu menyikapi keberadaan GIK?
Setelah melalui proses pembangunan selama kurang dari setahun, Gelanggang Inovasi dan Kreativitas (GIK) mulai menunjukkan rupa paripurnanya. Proyek yang digarap di atas lahan seluas 49.500 m2 itu nantinya akan menggantikan fungsi Gelanggang Mahasiswa sebagai wahana pengembangan keterampilan dan jaringan bagi seluruh sivitas akademika UGM.
Sebagai langkah awal dalam pemanfaatan sarana tersebut, pihak rektorat mengundang sejumlah perwakilan unsur mahasiswa dan fakultas untuk terlibat dalam Diskusi Pengelolaan GIK pada Rabu (17/5). Forum tersebut digelar di Ruang Multimedia 2, Gedung Pusat UGM.
Sebagai perwakilan pihak rektorat, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Alumni (Dr Arie Sujito SSos MSi), Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Pengajaran (Prof Dr Wening Udasmoro SS MHum DEA), serta Wakil Rektor Bidang Perencanaan, Aset, dan Sistem Informasi (Arief Setiawan Budi Nugroho ST MEng PhD) hadir dalam forum tersebut.
Sedangkan, perwakilan mahasiswa yang hadir dalam diskusi itu mencakup Ketua Forum Komunikasi Unit Kegiatan Mahasiswa (Forkom UKM) UGM, Robertus Abdi Dharma Gani Satria, serta koordinator-koordinator sekretariat bersama UKM yang membawahinya. Di samping perwakilan Forkom UKM, ketua-ketua UKM atau perwakilan dari tiap sekretariat bersama juga turut hadir hari itu.
Mimpi rektorat tentang GIK
Diskusi diawali dengan pernyataan dari Wakil Rektor Arie Sujito dan Wening Udasmoro. Dalam pernyataannya, Arie menyampaikan bahwa pembangunan GIK adalah upaya universitas untuk mempertahankan semangat aktivisme dan kepekaan yang berkembang di Gelanggang pada wujud lamanya. Arie juga menambahkan bahwa keberadaan GIK menjadi cara universitas untuk memperbaiki citra fasilitas kemahasiswaan yang terkenal kumuh.
Selanjutnya, Wening menyampaikan raison d’etre (alasan terpenting bagi keberadaan seseorang atau sesuatu) dari GIK. Tiga alasan yang dilampirkan Wening adalah keengganan mahasiswa UGM untuk terlibat dalam kegiatan di luar UGM, kompetisi antarmahasiswa, dan dorongan untuk menjembatani mahasiswa UGM dengan berbagai pemangku kepentingan, seperti korporasi atau pemerintahan.
Wening juga menegaskan bahwa GIK ada untuk mengembangkan kegiatan mahasiswa yang sudah ada dan tidak mengubah yang sudah mapan. Sebagai penutup, mantan dekan Fakultas Ilmu Budaya itu menyatakan bahwa GIK adalah kawah candradimuka bagi mahasiswa.
Wakil Rektor Arief Setiawan Budi Nugroho yang bergabung di tengah jalannya diskusi melengkapi pernyataan kedua rekannya dengan penjelasan mengenai pembagian zona kegiatan di GIK. Singkatnya, GIK terbagi atas tiga wilayah besar: Kepemimpinan, Inovasi Teknologi dan Kewirausahaan, serta Seni dan Kreativitas. Tiga wilayah tersebut kemudian dibagi kembali ke dalam enam zona kegiatan yang masing-masing diberi nama sesuai urutan alfabet.
Mahasiswa bertanya, rektorat menjawab
Selepas pembukaan oleh para wakil rektor, Gani selaku Ketua Forkom menyampaikan enam pertanyaan untuk memulai diskusi. Keenamnya adalah perihal pembagian porsi penggunaan, kebutuhan ruang untuk kegiatan UKM, aksesibilitas fasilitas bagi mahasiswa difabel, pembagian dan jenis ruangan, keterlibatan UKM dalam pengelolaan, serta akomodasi bagi beberapa UKM yang belum memiliki sekretariat. Keenam pertanyaan itu adalah hasil penghimpunan keresahan UKM-UKM yang dinaungi Forkom.
Selain Gani, beberapa koordinator sekretariat bersama UKM yang membawahinya turut menyampaikan pertanyaan mereka. Koordinator sekretariat bersama UKM olahraga, Rizki Febri Pratama, menanyakan mengenai ketersediaan ruang penyimpanan bagi alat latihan. Sedangkan, koordinator sekretariat bersama UKM kerohanian, Henrikus Prasetyo Cahyo Santoso, bertanya mengenai ketersediaan ruang ibadah. Terakhir, koordinator sekretariat bersama UKM seni, Agil Permonojati, menyampaikan pertanyaan mengenai penggunaan ruang oleh UKM seni, khususnya seni rupa yang membutuhkan tempat yang dapat dikotori untuk kegiatan melukis.
Merespons serangkaian pertanyaan itu, Wakil Rektor Arie Sujito menjamin bahwa pihak rektorat akan menyediakan fasilitas bagi mahasiswa semampunya. Akan tetapi, fasilitas-fasilitas tersebut tidak akan memenuhi standar profesional yang diharapkan oleh para perwakilan UKM. Arie kemudian mengingatkan bahwa alasan yang ada dibalik GIK adalah perbaikan dari fasilitas mahasiswa yang telah ada dan meminta UKM-UKM untuk tidak berekspektasi lebih.
Ruang ibadah di GIK
Terkait dengan pertanyaan mengenai ketersediaan ruang ibadah, Arie menyatakan bahwa pihak rektorat tidak akan menyediakan ruang ibadah tersendiri di lingkungan GIK. Menurutnya, pelaksanaan ibadah dapat dilakukan di ruangan-ruangan yang tersedia. Dosen sosiologi Fisipol UGM itu juga menghubungkan kepentingan UKM-UKM kerohanian dengan proses konstruksi kawasan kerohanian yang tengah berjalan.
Melanjutkan Arie, Wakil Rektor Wening Udasmoro menanggapi kebutuhan tempat bagi kegiatan melukis yang dilakukan UKM seni rupa. Wening menyampaikan bahwa tempat tersebut tidak bisa disediakan di lingkungan GIK. Wening kemudian menambahkan bahwa alokasi tempat bagi kegiatan melukis dapat didiskusikan di lain waktu. Selain itu, Wening menyebutkan bahwa keperluan perawatan yang dimiliki GIK membuat penggunaan beberapa fasilitas di dalamnya akan memungut biaya.
Diskusi kemudian ditutup dengan jawaban Wakil Rektor Arief Setiawan mengenai ruang penyimpanan alat latihan. Arief menegaskan bahwa ruang tersebut akan disediakan di GIK, tapi dengan format yang berbeda. Ruang-ruang penyimpanan yang sebelumnya dialokasikan secara individual kepada setiap UKM akan diubah menjadi sebuah ruang bersama yang bisa digunakan oleh seluruh UKM. Ia juga menekankan bahwa perubahan ini mampu mendorong seluruh sivitas akademika UGM untuk memelihara semangat solidaritas dan kepekaan yang ada di Gelanggang.
Penulis : Gregorius Arimurti/ Bul
Editor : Angga/ Bul