Apakah kalian pernah melihat postingan gejala gangguan mental di internet dan merasa gejala tersebut mirip dengan kondisi kalian?
Apakah kalian pernah melihat story di media sosial teman yang mendiagnosis diri sendiri dengan suatu gangguan mental?
Fenomena di atas sering disebut dengan istilah self-diagnose. Fenomena ini sedang menjadi perbincangan yang ramai di media sosial, tidak terkecuali di kalangan mahasiswa. Pengertian diagnosis menurut American Psychological Association (APA) adalah proses mengidentifikasi dan menentukan sifat suatu penyakit melalui tanda dan gejalanya, dengan menggunakan berbagai teknik seperti tes dan pemeriksaan dan bukti lain yang tersedia. Jika merujuk pada pengertian tersebut, artinya self-diagnose menghilangkan proses identifikasi penyakit dengan tes yang dilakukan hanya oleh ahlinya.
Di masa yang serba cepat ini, tidak dapat dimungkiri akan sangat memberi kemudahan pada kita untuk mengakses informasi di internet. Hal ini menyebabkan munculnya kesulitan menyaring informasi yang kita dapat. Tidak jarang seseorang mengafirmasi sebuah informasi tanpa mencari tahu sumbernya. Informasi yang keliru dapat menyebabkan seseorang mendapat diagnosis yang salah, dalam hal ini, mengenai kondisi mentalnya.
Self-diagnose dalam dunia psikologis merupakan perilaku yang tidak tepat karena diagnosis hanya dapat diberikan oleh psikolog yang sudah mendapat izin praktik. Jika seseorang tiba-tiba melabeli dirinya memiliki gangguan mental tanpa merujuk ke psikolog, maka dikhawatirkan penanganan yang diberikan akan salah dan kondisinya akan memburuk.
Mengidentifikasi diri dengan gangguan mental secara mandiri juga dapat menimbulkan rasa cemas yang berlebihan dan tak berdasar. Apabila kita hanya fokus pada diagnosis yang kita tegakkan untuk diri sendiri, mungkin akan timbul rasa cemas karena anggapan bahwa kita mengidap suatu penyakit. Lebih lanjut, pikiran tentang gangguan tersebut dapat membuat individu hanya pasrah dengan gejalanya.
Hal ini dapat dikaitkan dengan istilah self-fulfilling prophecy, yaitu ketika ekspektasi atau keyakinan tentang suatu hal yang dapat memengaruhi perilaku individu, sehingga pada akhirnya menyebabkan keyakinan tersebut menjadi kenyataan (Cherry, 2022).
Meskipun begitu, dalam kadar tertentu, self-diagnose mungkin dapat memberikan dampak baik. Langkah awal dari self-diagnose adalah kesadaran diri bahwa ada sesuatu yang tidak berjalan baik dalam pikiran kita. Kesadaran ini perlu kita arahkan untuk ditindaklanjuti ke tenaga ahli dibandingkan hanya dipendam. Hal ini menjadi penting karena kebanyakan dari kita hanya pergi ke dokter jika fisik yang sakit, tidak dengan mental.
Media sosial tidak sepenuhnya buruk, bahkan banyak manfaat yang bisa kita dapatkan darinya, selama kita tidak menganggap fakta gangguan mental atau diagnosis di sana sebagai fakta yang tidak bisa dielakkan. Dengan mengingat jelas gejala yang kita miliki, akan membantu tenaga profesional dalam memahami dan membantu kita. Kita perlu menyelami media sosial dengan rasa kritis dan keingintahuan yang tinggi (Guy dalam Fielding, 2022).
Jika kita bertemu suatu postingan yang membahas gejala depresi, yaitu tidak bersemangat menjalani aktivitas sehari-hari serta mengalami gangguan tidur dan mirip dengan kondisimu, rasa kritis akan menanggapi informasi tersebut dengan pertanyaan kembali seperti, “Apakah hanya ini gejala dari depresi? Apa yang membedakan depresi dengan burnout? Apakah kondisiku sudah menghambatku melakukan segala sesuatu hingga membutuhkan intervensi dari ahlinya?”
Setelah meninjau pengertian serta buruk dan baiknya fenomena self-diagnose, secara umum fenomena ini membawa lebih banyak dampak buruk. Terlebih dengan bagaimana fenomena ini ramai mendapat konotasi negatif di media sosial. Selain dapat berakibat buruk kepada diri sendiri, menyebarkan misinformasi di internet juga memungkinkan orang lain ikut terjerat dalam kesesatan informasi. Kesadaran mengenai kondisi mental perlu dibersamai dengan edukasi yang memadai supaya masyarakat awam tidak terjerumus pada hal buruk.
Oleh karena itu, sesungguhnya persoalan self-diagnose ini cukup rumit bila dibahas dari kedua sisi. Hal yang perlu digarisbawahi adalah kesadaran diri tentang kondisi mental kita adalah sesuatu yang baik dan perlu diterima. Kita bisa saja merasakan sedih yang berkepanjangan tanpa perlu melabeli diri sebagai seseorang yang terkena depresi dan hal tersebut tidak mendiskreditkan perasaan sedih yang kita rasakan.
Kesadaran ini perlu diikuti dengan sikap proaktif dari diri sendiri. Setelah merasa ada yang tidak beres dalam pikiran, hal yang perlu ditanyakan adalah apakah hal tersebut mengganggu kita sampai di tahap menyulitkan kehidupan sehari-hari dan pada akhirnya menjadi motivasi untuk berprogres ke arah kondisi kesehatan mental yang lebih baik.
Daftar Pustaka
American Psychological Association. (n.d.). Apa Dictionary of Psychology. American Psychological Association. Retrieved March 31, 2023, from https://dictionary.apa.org/diagnosis
Cherry, K. (2022, September 22). What is a self-fulfilling prophecy? Verywell Mind. Retrieved March 31, 2023, from https://www.verywellmind.com/what-is-a-self-fulfilling-prophecy-6740420
Fielding, S. (2022, February 1). People are using social media to self-diagnose-this could be problematic. Verywell Mind. Retrieved April 1, 2023, from https://www.verywellmind.com/people-are-using-social-media-to-self-diagnose-5217072
Oleh: Ratih/ Bul
Editor: Zabrina/ Bul