
Hak akan kebebasan dan penerimaan masyarakat adalah alasan di balik berdirinya komunitas Muslim Transpuan, seperti yang dikatakan oleh Ibu Shinta selaku pemimpin Komunitas Transpuan Muslim dan Pondok Pesantren Waria Al-Fatah Kotagede. Prasangka terhadap Transpuan hingga saat ini masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan. Sebagai bagian dari komunitas marjinal, Transpuan sering diperlakukan berbeda dan didiskriminasi ketika ingin beribadah di masjid umum.
Belajar agama tanpa diskriminasi
Bertempat di gang kecil di Kotagede, sebuah bangunan yang cukup tua dengan aksen desain rumah tradisional Jawa yang kuat menjadi tempat bagi Transpuan Muslim untuk mempelajari agama tanpa adanya diskriminasi. Tempat itu menjadi sarana belajar membaca Al-Qur’an, berdoa, dan menghafal beberapa surah dari Al-Qur’an.
Ibu Shinta selaku ketua Ponpes Waria Al-Fatah Kotagede, dalam wawancara yang dilaksanakan pada hari Minggu, 6 Maret 2022, mengatakan bahwa semua Transpuan yang belajar di tempat itu berasal dari latar belakang yang berbeda. “Kadang-kadang kami menemukan Transpuan yang ditinggalkan di jalan. Dengan bantuan staf Departemen Sosial setempat, kami membawa beberapa dari mereka ke sini dan memberi mereka tempat tinggal.”
Memfasilitasi pengembangan diri
Komunitas ini juga memfasilitasi anggotanya untuk mengembangkan diri dengan menyelenggarakan aktivitas pembelajaran yang rutin dan terjadwal. Dalam pelaksanaannya, komunitas ini dibantu oleh pihak lain yang memiliki keahlian di bidangnya. Sebagai contoh, beberapa mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga mengadakan penelitian dan menjadi mentor untuk belajar Al-Qur’an bagi Transpuan setiap hari Minggu sore.
Setelah salat Magrib, kegiatan dilanjutkan dengan pembacaan Surah Yasin dan ceramah yang diisi oleh ustaz, hasil kerja sama dengan Nahdlatul Ulama (NU). Kemudian, di hari Rabu ada kelas Bahasa Inggris. Namun, semenjak pandemi, kelas diadakan secara daring. “Kami ingin membantu mereka, para Transpuan yang ditinggalkan dan tidak diterima oleh keluarganya, untuk mendapatkan tempat yang lebih baik,” tutur Ibu Shinta.
Menjadi diri sendiri tanpa prasangka
Ibu Shinta menjelaskan bahwa beberapa Wanita Trans ditinggalkan oleh keluarga hingga ajal mereka. Namun, beliau dan orang-orang dari komunitasnya tidak segan merawat dan memberi mereka penguburan yang layak sesuai dengan tata cara penguburan Islam.
Menjadi marjinal dalam masyarakat tidak menghentikan pengabdian mereka kepada Tuhan dan agamanya. Di sana, mereka bisa menjadi seperti apa yang mereka inginkan dan berdoa dengan damai tanpa adanya prasangka buruk dari masyarakat.
Penulis: Najla, Nazala, Nisa Asfiya/ Bul
Editor: Angga/ Bul