Pada 6 Februari 2023 pukul 04.17 pagi waktu setempat, gempa berkekuatan 7,8 SR yang kemudian disusul dengan gempa 7,5 SR mengguncang wilayah selatan Turki dan utara Suriah. Kedua gempa dengan selang waktu sembilan jam tersebut meluluhlantakkan apapun yang berada di atasnya. Terhitung hingga Senin (20/2), sebanyak hampir 47.000 jiwa menjadi korban meninggal dunia, puluhan ribu korban luka-luka, ribuan jiwa masih belum ditemukan, dan 6 juta jiwa harus mengungsi karena tempat tinggalnya mengalami kerusakan. Lebih lanjut, gempa ini masuk ke dalam catatan gempa terbesar dan terparah yang pernah terjadi, khususnya dalam dua dasawarsa ke belakang.
Pesatnya perkembangan teknologi informasi, kabar mengenai gempa dengan episentrum di Provinsi Kahramanmaraş, Turki tersebut menjadi cepat tersiar ke seluruh penjuru dunia terutama melalui media sosial. Namun, di tengah keramaian media sosial, berhembus isu bahwa bencana ini telah direncanakan dan dibuat oleh sejumlah pihak tertentu. Salah satu isu yang ramai diperbincangkan adalah munculnya awan tak biasa di Bursa, Turki, pada 19 Januari 2023, yang diduga pertanda kemunculan gempa besar. Sementara itu, sejumlah penganut teori konspirasi percaya bahwa awan tersebut dihasilkan dari HAARP, High-frequency Active Auroral Research Program, teknologi canggih dalam penelitian ionosfer yang diinisiasi oleh Amerika Serikat untuk rekayasa hidrometeorologi dan bencana berskala kecil atau besar.
Dari video yang beredar di media sosial, tampak awan berwarna jingga kekuningan tersebut berbentuk spiral dengan pusat dan pinggiran yang menggelap. Awan dengan bentuk yang tidak biasa tersebut menciptakan suatu asumsi mengenai isu UFO (Unidentifying object). Namun, Direktorat Meteorologi Turki menegaskan bahwa fenomena atmosfer tersebut tidak berkaitan sama sekali dengan bencana gempa bumi yang terjadi tujuh belas hari setelahnya. Pernyataan serupa dikeluarkan oleh pihak NPS (National Park Service) Amerika Serikat yang menjelaskan mengenai awan tersebut, “Awan lenticularis terbentuk dari massa udara yang stabil dan lembab, serta angin kencang yang berada di lingkungan pegunungan.”.
Lebih lanjut, menurut pakar iklim Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Emilya Nurjani, S.Si., M.Si., menyatakan bahwa kemunculan awan lenticularis tersebut tidak terkait dengan pertanda akan terjadinya bencana dan merupakan fenomena atmosfer biasa yang umumnya terjadi di pegunungan atau perbukitan karena faktor orografis atau elevasi.
Awan tersebut terbentuk ketika udara di dekat tanah yang menyimpan lebih banyak uap air membuat kantung udara di dekat permukaan lebih lembab daripada lingkungan sekitarnya. Oleh karena suhu udara mendingin dengan ketinggian, parcel udara dapat didinginkan sampai pada titik embun tertentu lalu udara menjadi jenuh dan membentuk awan lenticularis di Bursa yang dilalui saluran udara konstan karena aliran udara yang sangat berangin. Angin kencang yang berasal dari selatan bertiup ke Turki Barat karena tekanan rendah di Italia utara. Selain itu, Dr. Emilya Nurjani turut menambahkan penjelasan mengenai kemunculan awan tersebut, “Dilihat dari permukaan, awan terlihat tidak bergerak saat udara mengalir dan lapisan pembentuk awan terlalu kering sehingga lenticular akan terbentuk satu di atas yang lain. Bahkan, terkadang hal ini meluas ke lapisan stratosfer dan terlihat seperti UFO.” paparnya.
Keberadaan awan lenticularis sebagai pemicu gempa juga tidak masuk akal jika dilihat dari aspek lokasi kemunculannya. Awan ini muncul di Provinsi Bursa yang berada di barat daya Turki, sedangkan episentrum gempa berada di Provinsi Kahramanmaraş di Turki bagian selatan Turki. Kedua provinsi ini terpaut jarak sebesar kurang lebih 921 km melalui jalur kendaraan roda empat atau sama dengan jarak Kota Balikpapan di Provinsi Kalimantan Tengah dengan Kota Tarakan di Provinsi Kalimantan Utara. Daripada gempa, awan ini justru menimbulkan hujan dengan intensitas sedang.

Sementara itu, gempa dahsyat ini disebabkan oleh gesekan antara Lempeng Arab dengan Lempeng Anatolia, sehingga daerah di sekitar patahan timur Anatolia mengalami kerusakan yang sangat parah. Pergeseran lempeng ini terjadi di lapisan umi bagian litosfer. Oleh karena itu, atmosfer dan segala fenomena yang terjadi di dalamnya tidak memiliki keterkaitan apapun dengan fenomena struktural di lapisan litosfer, seperti pergeseran lempeng.
Daftar Pustaka
Anam, K. (2023, February 12). Penjelasan Ilmiah soal Awan UFO di Langit Turki. CNBC Indonesia. https://www.cnbcindonesia.com/tech/20230212122437-37-413064/penjelasan-ilmiah-soal-awan-ufo-di-langit-turki
Bain, E. (2023, February 9). Eerie red UFO cloud seen in Turkey two weeks before devastating earthquake. HITC. https://www.hitc.com/en-gb/2023/02/09/eerie-red-ufo-cloud-seen-in-turkey-before-deadly-earthquake/
Cappucci, M. (2023, January 22). How a saucer-like cloud hovered over Turkey on Thursday. The Washington Post. https://www.washingtonpost.com/weather/2023/01/22/turkey-lenticular-cloud-saucer-bursa/
Ghosh, P. (2023, February 10). Turkey earthquake: Where did it hit and why was it so deadly? BBC. https://www.bbc.com/news/science-environment-64540696
Holmes, O., Morresi, E., & Sheehy, F. (2023, February 20). Thousands dead, millions displaced: the earthquake fallout in Turkey and Syria. The Guardian. https://www.theguardian.com/world/2023/feb/20/thousands-dead-millions-displaced-the-earthquake-fallout-in-turkey-and-syria
Reuters Fact Check. (2023, February 10). Fact Check: No evidence linking clouds to earthquakes, contrary to claims following Turkey-Syria quake. Reuters. https://www.reuters.com/article/factcheck-turkey-cloud-idUSL1N34Q1OZ
Wu, A. (2023, February 6). Maps: 7.8-Magnitude Earthquake Strikes Turkey, Syria, Lebanon and Israel. The New York Times. https://www.nytimes.com/interactive/2023/02/06/world/turkey-earthquake-damage.html
Penulis: Nadia Rasendria S. A./Bul
Editor: Annisa Damayanti H. W/Bul