Yang Tewas Menjadi Tersangka?

news.detik.com

Belakangan ini kita dibuat geger oleh peristiwa tewasnya seorang mahasiswa Universitas Indonesia (UI) bernama Hasya (18) akibat ditabrak oleh mobil yang dikemudikan oleh seorang Purnawirawan Polri bernama Eko. Kasus ini sebenarnya adalah kasus umum. Dalam artian, kasus seperti ini dapat terjadi dimana pun dan oleh siapa pun. Meski begitu, kasus ini menjadi topik perbincangan hangat diantara masyarakat, sebab korban tewas malah ditetapkan sebagai tersangka. Ditambah dengan keterlibatan purnawirawan polisi ditengah mosi tidak percaya akibat banyaknya kasus yang menimpa oknum di internal institusi tersebut. Salah satunya yang terkenal dan masih dalam proses pengadilan adalah kasus pembunuhan ajudan oleh atasannya. Hal inilah yang menyebabkan kasus laka lantas diatas menjadi daya tarik tersendiri. Apalagi melibatkan seorang mantan anggotanya yang mampu lolos jeratan hukum. Padahal tindakannya jelas melayangkan nyawa seseorang.

Fakta yang terungkap dari TKP adalah kondisi jalan yang basah di malam hari. Hal ini menyebabkan jalanan licin. Pernyataan kronologis yang disampaikan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI dalam portal berita Republika menyatakan bahwa Hasya menghindari sebuah motor yang rem mendadak dan membuatnya banting setir ke kanan sebelum akhirnya dihantam oleh sebuah mobil yang dikendarai Eko. Walau begitu, poin utama yang menjadi sorotan masyarakat adalah korban yang ditetapkan sebagai tersangka. Bagaimana ceritanya seorang yang tewas akibat tindakan orang lain justru diberikan status tersangka? Meskipun memang belum tentu juga sang pengendara mobil harus dijadikan tersangka karena dapat dikatakan ia ‘tidak sengaja’ menabrak korban. Namun, sebelum kita membuat kesimpulan, kita harus mengetahui dahulu, secara umum, proses penetapan tersangka dalam sebuah kasus pidana agar dapat mengetahui bagaimana proses yang sebenarnya.

Dilansir dari situs hukumonline.com, penetapan tersangka oleh pihak penyidik yaitu Kepolisian didasarkan atas ketentuan yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Undang-undang ini menjelaskan syarat-syarat yang multi interpretasi yang harus dipenuhi untuk menetapkan status tersangka kepada terduga pelaku. Salah satu syaratnya ialah memiliki alat bukti yang sah, seperti keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Ketentuan alat bukti ini juga diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang disempurnakan oleh putusan Mahkamah Konstitusi No.21/XII/2014 yang menyatakan bahwa penetapan tersangka harus memiliki minimal 2 alat bukti yang sah, serta keterangan terduga pelaku. 

Peristiwa laka ini terjadi pada tanggal 6 Oktober 2022 sekitar pukul 22.00 WIB dengan kondisi jalan basah dan ramai pengendara. Mulai hari itu, selama beberapa bulan, penyelidikan dilaksanakan. Dalam prosesnya, pihak penyidik melakukan gelar perkara sebanyak dua kali untuk merekonstruksi kembali peristiwa yang menewaskan Hasya. Sampai akhirnya pada tanggal 17 Januari 2023, Hasya ditetapkan sebagai tersangka karena dianggap lalai dalam berkendara oleh tim penyidik dan kasus di-SP-3 atau penyelidikan dihentikan dalam rangka menunggu mediasi antara pihak Hasya dan pengemudi mobil sebelum akhirnya ketetapan ini membuat heboh masyarakat.

Atas ketentuan proses penyelidikan yang berlaku dan alat bukti yang cukup, wajar saja, saat itu banyak pengendara lain yang menyaksikan peristiwa tersebut, serta gelar perkara yang dilakukan hingga dua kali dengan tujuan memastikan kejadian di malam itu, dirasa masuk akal apabila pada akhirnya tim penyidik dengan yakin mampu menetapkan tersangka. Walaupun memang keputusan mereka ini menjadi kontroversi tersendiri. Meski begitu, patut kita pahami bahwa pihak Kepolisianlah yang mempunyai wewenang dan kompetensi khusus untuk menangani kasus ini dan kasus-kasus serupa.

Terlepas dari keputusan ini berasal dari pihak berwenang, terdapat kejanggalan yang layak untuk dicurigai. Tidak perlu terlalu jauh, linimasa pelaksanaan penyelidikan saja sudah terlihat aneh. Apakah sebuah penyelidikan laka lantas dengan banyak saksi pelaksanaannya memakan waktu hampir tiga bulan? Apabila kasus pengungkapan gembong narkoba dengan penyelidikan yang mengharuskan operasi ‘telik sandi’, waktu tiga bulan malah cenderung singkat. Apakah karena sosok yang berpotensi menjadi tersangka adalah mantan anggota? Sehingga penyidik merasa berat untuk menjadikannya tersangka? Bukan alasan yang baik bagi tim penyidik yang seharusnya berkompeten untuk menyelesaikan kasus ini.

Setelah beberapa minggu berlalu, pada tanggal 6 Februari atau empat bulan setelah peristiwa nahas ini, status tersangka Hasya dicabut. Mungkin ini menjadi berita baik, khususnya bagi keluarga, namun ini juga menjadi pertanda yang aneh bagi kita. Kok bisa setelah viral pihak Kepolisian me-revisi ketetapan mereka? Seakan-akan mereka hanya ingin menyesuaikan dengan keinginan masyarakat yang belum tentu menguasai kompetensi penetapan tersangka. Tidak hanya itu, kasus yang dihentikan dengan tujuan menunggu hasil mediasi menambah kesan bahwa penyidik cukup berat hati untuk melanjutkan penyelidikan dan hanya berharap kasus selesai dengan damai. Padahal kalau memang terdapat indikasi pidana dan harus diproses hukum, sudah sewajarnya diproses sesuai dengan ketentuan. Ditambah dengan keputusan pihak Kepolisian yang menyeret tim penyidik ke sidang kode etik akibat “salah” tindakan. Makin meyakinkan kesan bahwa ketetapan yang kemarin adalah rekayasa belaka. 

Beberapa waktu ini, setelah pencabutan status tersangka Hasya, beredar sebuah video singkat hasil tangkapan layar CCTV yang menayangkan secara cukup jelas peristiwa tabrakan ini. Memang benar, Hasya membanting setir ke kanan sebelum akhirnya tertabrak. Hal ini juga mengindikasikan kebenaran yang disampaikan pihak Kepolisian bahwa kecelakaan ini terjadi akibat kelalaian. Meski begitu, posisi ‘Sang Purnawirawan’ menjadi tidak jelas karena hilang begitu saja. Selain itu, fakta lain mengungkapkan bahwa Eko membiarkan Hasya tergeletak setelah peristiwa itu terjadi. Menurut UU No. 22 Tahun 2009 Pasal 231 menyebutkan bahwa ternyata pengemudi yang terlibat kecelakaan wajib membantu korban yang artinya terdapat unsur pidana yang dilanggar oleh Eko. Hal ini disampaikan oleh salah seorang pengamat transportasi bernama Budiyanto dalam situs Megapolitan Kompas.

Melihat perkara a quo, seharusnya terdapat proses hukum lebih lanjut selain dari yang telah dijalankan sehingga dapat menentukan tersangka secara cermat dan tepat tanmpa melewati suatu proses atau aturan hukum yang berlaku. Tidak bermaksud menyinggung pihak Kepolisian, tapi sudah seharusnya kasus seperti ini dapat diteliti lebih cermat lagi agar selesai dan tidak menggantung. Mengingat Kepolisian adalah institusi penting yang selalu kontak langsung dengan masyarakat, sehingga diharapkan dapat sepenuhnya menjalankan tugas dan kewajiban yang sudah ditetapkan dengan kredibel.

Kita sebagai masyarakat awam yang belum tentu mengerti dan paham hukum secara jelas, wajib lebih bijak lagi dalam mencermati dan mengikuti perkembangan-perkembangan dan dinamika-dinamika yang terjadi di masyarakat, seperti kasus tabrakan ini. Jangan hanya karena berusaha mengikuti topik perbincangan yang sedang hangat-hangatnya malah membuat kita tidak mampu berpikir kritis dan mudah menghakimi keadaan.

Penulis: Rangga Wicaksono Adi/ Bul

Editor: Tiara Arni Maitsaa/ Bul

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here