MBKM: Is It Worth It?

Ilus: Elyfia/ Bul

Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) merupakan salah salah satu program yang diterbitkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Tujuan program MBKM adalah meningkatkan kompetensi para mahasiswa agar lebih siap dalam menghadapi perkembangan zaman.

Program MBKM yang resmi diluncurkan pada tahun 2020 ini menawarkan berbagai macam kegiatan, seperti Magang Bersertifikat, Studi Independen, IISMA, Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM), juga kewirausahaan. 

Banyak mahasiswa UGM sudah memanfaatkan kesempatan ini. Melalui MBKM, mahasiswa bisa menambah pengalaman dan ilmu di luar bangku perkuliahan. Namun, dalam pelaksanaannya, masih banyak kendala yang dialami oleh mahasiswa. Melihat dari dua sisi–kebermanfaatan dan kendala yang dihadapi–apakah MBKM worth it untuk diikuti?

Is it worth it?

Menurut Anastasia Dwita Anggraeni (Fisipol ’20), MBKM memberikan banyak pengalaman yang tidak ia temukan di bangku perkuliahan. Mengikuti Studi Independen di salah satu perusahaan berbasis edukasi dan teknologi, yaitu PT Revolusi Citra Edukasi atau Revolu, Anas mendapat banyak ilmu mengenai digital marketing, product management, data analitik, hingga sales tech. “Ternyata emang worth it banget, seneng banget gitu loh habis ikut ini,” ungkap Anas, “selain dapat sertifikat, dapat berbagai macam ilmu, terus relasi.”

Selaras dengan Anas, Widyya Rimba Gitacahyani (FIB ’20) yang mengikuti MBKM PMM juga merasa bahwa program yang ia ambil sangat worth it.  “Bagi yang ingin mencari pengalaman di luar kampus, ini sangat worth it dan boleh banget untuk dicoba,” ujar Widyya. “Tapi kalau untuk yang ingin lulus cepat, pemilihan MBKM ini harus dipikirkan lagi pemilihan waktunya di semester yang nggak padet kuliahnya,” tambahnya. 

Kendala-kendala yang perlu dapat perhatian 

Meskipun partisipasi UGM dalam program MBKM telah berjalan selama beberapa tahun, tetapi beberapa kendala masih terjadi dalam program yang dilaksanakan oleh Kemendikbud Ristek ini, di antaranya miskomunikasi, administrasi, dan implementasi di lapangan. 

Kendala dalam hal komunikasi diakui oleh Dr Ir Emma Soraya SHut MFor selaku Kepala Program Studi Fakultas Kehutanan UGM. Emma mengaku sempat menghadapi miskomunikasi antara pimpinan dari pihak universitas, fakultas, hingga program studi pada awal keikutsertaan prodi yang dipimpinnya dalam program MBKM. “Banyak yang mendadak sehingga kita tidak punya waktu untuk menempatkan diri di sistem, apalagi kalau mau diklaim jadi SKS (Satuan Kredit Semester -red), papar Emma. “Tapi, sekarang mulai lancar,” tambahnya, “tiga sampai empat semester ini sudah mulai settle sistem dari UGM, Simaster, jika ada isu  diobrolkan hingga jadi satu jalan.” 

Namun, di sisi lain, kendala komunikasi masih dijumpai pada program studi lain yang turut melibatkan mahasiswa, salah satunya dalam hal konversi nilai. Widdya yang merupakan mahasiswa prodi Bahasa dan Kebudayaan Korea mengaku bahwa sampai wawancara dengannya dilakukan pada Kamis (9/3), nilainya belum dikonversi akibat adanya miskomunikasi. 

Sementara itu, kendala lain cenderung datang dari implementasi di lapangan, seperti adaptasi dengan budaya setempat dan kultur perkuliahan yang berbeda dari kampus asal. “Mungkin pada saat di sana agak susah untuk beradaptasi, terutama bahasanya karena bener-bener beda,” ungkap Widyya yang melakukan PMM ke kampus di luar Jawa. “Butuh waktu untuk penyesuaian hingga akhirnya bisa mengerti  apa yang dibicarakan,” tambahnya. 

Di samping itu, Widyya juga menceritakan pengalaman perkuliahannya yang mengalami kendala karena dosen pengajar. “Di sana, mungkin karena kondisi geografis yang kepulauan kecil, terkadang dosen kalau ada di luar pulau harus harus pakai kapal, lalu juga terhalang cuaca sehingga menghambat pelajaran dan banyak nyekip kelas,” jelas Widyya. 

Perlunya evaluasi dan perbaikan 

Perlunya evaluasi terkait program MBKM dinyatakan oleh pihak kampus maupun mahasiswa. Kendala komunikasi yang terjadi, baik dari internal maupun eksternal kampus, menjadi satu hal yang perlu menjadi perhatian. “Beberapa sites nggak siap menerima mereka (para peserta MBKM -red) sehingga banyak miskomunikasi saat di lapangan,” papar Emma.

Di sisi lain, Widdya menyoroti mengenai kendala di bidang administrasi dan pendanaan. “Mungkin administrasinya bisa diperbaiki agar pendanaan tidak terhambat,” harap Widyya. Ia menceritakan bahwa sampai wawancara dengannya dilakukan, masih ada beberapa pendanaan dari pemerintah yang macet dan belum cair. “Dan untuk kampus, semoga konversi nilainya bisa lebih dipermudah,” tambahnya. 

Selain itu, penyebaran informasi yang belum gencar dan merata juga membuat mahasiswa harus mengulik secara mandiri terkait informasi yang mereka perlukan dalam mengikuti program MBKM. “Emang awalnya tuh kita harus yang nge-reach out duluan,” ungkap Anas. Ke depannya, ia berharap pengenalan terhadap program-program MBKM bisa lebih meluas lagi ke teman-teman mahasiswa. 

Penulis: Anita, Azlia, Dian Fatin/ Bul 

Editor: Angga/ Bul

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here