
Objektifikasi perempuan di media merupakan satu isu yang dewasa ini perlu mendapat perhatian lebih oleh masyarakat Indonesia. Hingga saat ini, objektifikasi masih sering terjadi di sekitar kita, bahkan media yang seharusnya mengajarkan edukasi justru melanggengkan kultur objektifikasi, salah satunya melalui framing berita.
Objektifikasi perempuan dalam framing berita
Dalam Communication Talkshow yang merupakan salah satu rangkaian acara Festival Ajisaka 2023, objektifikasi perempuan dalam framing berita diangkat menjadi topik diskusi. Talkshow bertajuk “Objektifikasi Perempuan dalam Framing Berita: Masih Adakah Ruang Aman Bagi Perempuan?” ini dilaksanakan di Seminar Timur, Gedung BF Fisipol UGM pada Sabtu (12/3) pukul 13.00-15.00 WIB.
Topik yang diangkat dalam talkshow tidak jauh terlepas dari tema yang diangkat dalam Festival Ajisaka tahun ini, yakni Agnia Abhipraya: Pembawa Cahaya Pengharapan. “Isu utamanya ada di gender equity (keadilan gender) dan kekerasan berbasis gender online sehingga ketika kita mau mengadakan talkshow, judul dan tema yang kita ambil juga nggak jauh-jauh dari itu,” ujar Charisma Laksita Hayu (Fisipol ’20), Ketua Umum Festival Ajisaka. “Kami harap melalui acara ini kami dapat menyebarkan kesadaran mengenai gender equality kepada masyarakat,” tambahnya.
Sementara itu, salah satu Dosen Pembina Festival Ajisaka UGM 2023 Zainuddin Muda Z. Monggilo SIKom MA turut berbangga atas program yang rutin diadakan setiap tahun ini karena benar-benar mentransformasikan visi dan misi anak muda untuk berkontribusi nyata dalam karya kritis, kreatif, dan etis seperti semangat yang selalu dibawa oleh mahasiswa-mahasiswi Departemen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM. Semoga semangat ini bisa menular baik dan berdampak pada topik yang diangkat.
Talkshow yang menjadi salah satu rangkaian Festival Ajisaka yang diselenggarakan oleh Departemen Ilmu Komunikasi UGM ini menghadirkan dua narasumber, yaitu Kalis Mardiasih (penulis dan aktivis) serta Dr Dian Arymami SIP MHum (Dosen Ilmu Komunikasi UGM).
Talkshow diawali dengan pembahasan mengenai bagaimana pandangan dari kedua narasumber terkait objektifikasi perempuan. Dian Arymami menanggapi dengan menyatakan bahwa objektifikasi berkaitan dengan membendakan manusia dan dapat dikatakan sebagai dehumanisasi (penghilangan harkat manusia).
Di sisi lain, Kalis lebih menekankan kepada bagaimana kondisi di Indonesia terkait dengan isu objektifikasi. Menurutnya, di Indonesia ini masih terdapat dua sisi yang bisa dilihat terkait dengan objektifikasi perempuan di media. “Dewasa ini memang terdapat banyak sekali platform media, tetapi cara mengobjektifikasinya sama, bahkan cenderung memburuk,” ucap Kalis, “namun, di lain sisi, publik sebagai pengawas media bekerja dengan efektif untuk mengontrol berita-berita di media.”
Kerentanan perempuan terhadap objektifikasi
Kerentanan perempuan tidak terlepas dari peran media dalam merepresentasikan mereka. “Kalau mayoritas medium aja merepresentasikan perempuan sebagai objek, pertama perempuan merasa dirinya objek,” tutur Dian Arymami, “kedua, yang lain juga akan menganggap siapa pun yang dibingkai oleh media itu sebagai objek.” Ini tentunya berkaitan dengan ketimpangan gender, khususnya terkait dengan adanya relasi ketimpangan kuasa yang kemudian muncul dalam bentuk-bentuk representasi di media.
Minimnya representasi di dunia jurnalisme turut memengaruhi framing berita. Kalis menjelaskan bahwa hal ini memang terjadi, seiring dengan minimnya perempuan di ruang redaksi dan kepemilikan media yang didominasi oleh laki-laki. Ini berpengaruh kepada banyaknya berita kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditulis dengan tidak memihak kepada korban, bahkan cenderung menyalahkan korban itu sendiri. “Bingkai terhadap representasi perempuan itu akan sulit ketika pekerja dan pembuat kebijakan tidak berperspektif gender,” sebut Dian Arymami. “Kalau bicara tentang konten, narasi perempuan dalam aktivitas publik juga harus diberi ruang,” tambahnya.
Objektifikasi, kekerasan berbasis gender, dan ruang aman
Objektifikasi tidak lepas dari kekerasan berbasis gender. Hal ini diungkapkan oleh Dian Arymami yang menggarisbawahi bahwa objektifikasi menciptakan dehumanisasi yang muncul dari relasi tidak manusiawi. “Itu akan menimbulkan keberagaman kekerasan, entah secara fisik atau emosional. Itu muncul karena tidak menganggap seseorang sebagai manusia,” paparnya.
Di sisi lain, Kalis mengungkapkan keresahannya mengenai media baru dan KBGO yang memiliki keterkaitan erat. “Akun-akun kampus cantik yang sampai sekarang masih beredar, itu kan bagian dari spektrum KBGO, dia masuknya dalam pelecehan seksual,” papar Kalis, “Foto-foto itu di-upload tanpa consent, diberi caption yang tidak sesuai dengan intensi yang punya tubuh atau yang punya foto,” tambahnya. Ia menceritakan bagaimana hal seperti ini bisa menyebabkan kekerasan seksual, mulai dari komentar pelecehan, pesan yang tidak senonoh, bahkan sampai ke pelecehan seksual secara fisik di dunia nyata.
Talkshow kemudian diakhiri dengan pertanyaan moderator mengenai masih adakah ruang aman bagi perempuan di media. “Ruang aman tidak semata-mata langsung ada, itu merupakan perjuangan yang lama, kita yang memilih untuk menciptakan ruang aman itu atau justru memperburuknya,” tutur Kalis kepada moderator dan para peserta yang hadir.
Dian Arymami menyepakati pernyataan Kalis, “Ruang aman itu harus kita perjuangkan,” ujarnya. “Kita merupakan bagian dari perjuangan itu, selama kita bisa cerdas menggunakan media, kita bisa menciptakan keamanan bersama.”
Di sisi lain, sebagai peserta talkshow yang sekaligus merupakan mahasiswa Ilmu Komunikasi UGM, Rossiana Alvita (Fisipol ’20) mengaku bahwa melalui talkshow ini ia mendapat gambaran realitas yang terjadi di masyarakat setelah sebelumnya hanya mendapat gambaran mengenai isu gender secara teoritis. Di samping itu, ia memberikan harapannya agar kesadaran dan pemahaman mengenai objektifikasi perempuan dapat dilakukan oleh teman-teman lain dengan meraih orang terdekat mereka terlebih dahulu.
Penulis: Meitri Lathifah/ Bul
Editor: Angga/ Bul