Tren Berpakaian Cepat Berubah, Urgensi Keberlanjutan Digagas OLGENAS UGM

Foto: Farhan/Bul

OLGENAS UGM mengadakan GEOTALK dengan tema “Trendy Domino’s Effect: A Huge Detrimental by Quick Turnover Future of Fashion” pada 18 Januari 2023. Acara ini berlangsung selama tiga jam yang dimulai pada pukul 09.30 WIB. Diselenggarakan secara luring di Auditorium Merapi, Faculty of Geography, UGM, seminar tersebut menghadirkan tiga pembicara, yaitu Dwi Prabowo Yuga Suseno, S.Si., M.Sc., Ph.D selaku Kepala Balai Besar Pengujian Standar Instrumen Kehutanan; Meghna Nayak, BFK., MS., founder dan designer LATISTA melalui Zoom; dan Futuha H. Sara, S.Si., Co-founder #CerdasBerpakaian.

Pakaian berkelanjutan (fashion sustainability)

Meghna Nayak mempunyai visi untuk membuat pakaian berkelanjutan (fashion sustainability) dengan mengubah pakaian bekas seperti saree (jenis kain untuk pakaian wanita di Asia Selatan -Red) bekas menjadi pakaian baru. Hal ini sesuai dengan pengelolaan fashion brand yang diusung, yaitu upcycling textile. Tujuan yang ingin dicapai tidak hanya berfokus pada packaging yang ramah lingkungan, tetapi juga pada kualitas kain, pekerja diberi upah, dan recycling pakaian bekas.

Meskipun fokus utama perusahaan dan investor adalah keuntungan, pebisnis harus bisa membuat bisnis sustainable dengan mencari material alternatif yang lebih ramah lingkungan. Pandangan Nayak terkait bisnis tersebut ialah, “Lebih baik banyak perusahaan kecil ramah lingkungan daripada satu perusahaan besar, tetapi merusak lingkungan. Not about growing, but thinking about the implication of the product to the environment.”

Bahasan perspektif umum yang beranggapan industri minyak bumi dan sejenisnya menyumbang polusi terbanyak untuk lingkungan pun sempat diangkat Nayak sebagai kekhawatirannya. Faktanya, industri pakaian atau tekstil merupakan industri nomor dua penyumbang polusi terbanyak terhadap lingkungan. Hal ini sejalan dengan data tahun 2010 bahwa industri tekstil menyumbang banyak polusi terhadap lingkungan.

Bisnis yang dijalani Nayak pun tidak jauh dari hambatan-hambatan. Dari sudut pandang pengoperasian, membuat baju dengan kain baru terhitung lebih murah, cepat, dan efisien. Selain itu, baju dari kain baru lebih mudah dibuat dengan memilih penggunaan bahan terbaik sesuai kriteria, sedangkan baju dari kain bekas memerlukan penanganan terpisah untuk masing-masing kainnya. Prosesnya pun menuntut lebih kreatif dan cekatan karena tiap baju akan berbeda model.

Hambatan lain adalah mitos baju lama di kalangan masyarakat India yang datang dari masyarakat, “Setiap orang harus memakai dan membeli baju baru ketika ada festival. Sebab baju baru melambangkan kesuksesan dan menunjukkan bahwa orang tersebut hidup dengan baik di dunia ini.” Oleh karena itu, Nayak bukan berfokus pada promosi bisnis, melainkan pergerakan terkait baju dari kain bekas kepada masyarakat.

Urgensi pengelolaan DAS dalam penanggulangan pencemaran air akibat limbah industri pakaian

Saat ini, terdapat 100 juta ton pakaian yang diproduksi setiap tahun dan 92%-nya berakhir di tempat sampah. Diketahui pula, 20% pencemaran air berasal dari produksi tekstil melalui usaha pembuatan kaos yang bisa menghabiskan hingga 2.700 liter air setara kebutuhan air minum 900 hari/ orang. Dengan demikian, pengelolaan DAS (Daerah Aliran Sungai) dibutuhkan dalam menanggulangi pencemaran air dari limbah industri tekstil.

Sebagaimana dituturkan Dwi Prabowo Yuga Suseno, S.Si., M.Sc., Ph.D atas pengelolaan DAS, Balai Penerapan Standar Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BPSILHK) Solo telah mengadakan pengujian kualitas lingkungan hidup pada UMKM batik terhadap kualitas lingkungan air. Usaha batik dibagi menjadi beberapa macam kelas berdasarkan proses, seperti penyediaan bak pengontrol sehingga limbah tidak langsung menuju sungai pada kelas pertama. Permasalahan yang masih ada ialah output seperti air bekas pencucian, pelorotan, dan pewarnaan yang harus diproses terlebih dahulu sebelum dibuang. Tidak hanya post production yang bisa dilakukan, tetapi juga masih banyak lagi, seperti edukasi dan pemanfaatan pewarna alami.

Secara ekologis, ekonomi, dan sosial, pewarna alami akan lebih bermanfaat terhadap pelestarian lingkungan dan tata lahan DAS sekitar UMKM menjadi lebih baik karena tutupan vegetasi yang mampu mengatur tata air sehingga infiltrasi meningkat, run off menurun, dan meminimalisasi banjir serta kekeringan. Pendekatan lain yang dilakukan adalah ABC (Abiotik, Biotik, Culture): Air (abiotik) berperan penting menjadi transport material; vegatsi (biotik) berperan dalam tata air dan biota air sebagai bioindikator; dan manusia (culture) berhubungan dengan gerakan yang dilakukan serta circular economy.

Isu fast fashion di era gen-z

Fast fashion merupakan industri fashion ready-to-wear dengan konsep pergantian tren yang cepat. Meskipun begitu, Futuha Helen Sara, S.Si. menjelaskan bahwa masih ada isu dalam fast fashion yang berkaitan dengan lingkungan dan sosial. Ketenagakerjaan menjadi isu yang pertama. Hal ini berkenaan dengan upah, jam kerja, health and safety condition, child labour, dan restriction (keterbatasan menyuarakan hak kerja) di wilayah Asia, terutama negara berpendapatan menengah yang memproduksi >50% mode dunia.

Selanjutnya adalah konsumerisme—berdampak pada sampah pakaian yang menggunung dan lingkungan—berpengaruh pada 10% total emisi gas rumah kaca. Dalam proses produksi katun pun, kebutuhan lahan pertanian kapas yang diperlukan tergolong banyak. Selain itu, segi manufaktur juga menambah besar isu ini dengan penggunaan bahan pewarna yang sulit diurai dan mencuci serta menyetrika yang berimplikasi pada peningkatan emisi gas rumah kaca.

Reporter: Nadia/Bul

Penulis: Decita Syahda Maharani/ Bul

             Ilmina Jihan Zafira/ Bul

Editor: Langit/ Bul

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here