
“Jadi ke depan kita akan seperti universitas lain, pakai uang pangkal untuk (calon mahasiswa jalur) mandiri,” ujar Rektor UGM, Ova Emilia dalam Hearing Rektorat pada Selasa (17/1).
Pelaksanaan Hearing Rektorat pada Selasa (17/1) menjadi tindak lanjut dari agenda serupa yang dilaksanakan Desember lalu. Isu-isu yang sebelumnya sempat dibahas, yaitu kesehatan mental, kekerasan seksual, akomodasi kaum disabilitas, asuransi mahasiswa, kawasan kerohanian, serta SSPI kembali dibicarakan oleh pihak rektorat dan perwakilan mahasiswa dalam agenda tersebut. Namun, isu Sumbangan Sukarela Pengembangan Institusi (SSPI) yang sempat diperdebatkan kembali menjadi fokus utama dalam hearing kali ini.
Jajaran rektorat yang dipimpin oleh Rektor UGM, Ova Emilia, menegaskan kembali bahwa pemberlakuan SSPI bertujuan untuk memberi ruang bagi calon mahasiswa dengan kemampuan ekonomi lebih untuk menyumbang. Adapun dana yang dihimpun melalui kebijakan tersebut akan disalurkan untuk subsidi silang dan pembaruan sarana dan prasarana universitas.
Selain itu, pihak rektorat juga menegaskan kembali sifat sukarela dari SSPI. Namun, sifat sukarela dari SSPI patut disoroti karena alih-alih dapat mengisi nol pada saat mengisi nominal SSPI, banyak mahasiswa tidak bisa memilih opsi tersebut.
Di samping kebijakan SSPI yang simpang siur, sebuah pernyataan mengejutkan dilontarkan Ova ketika mantan Ketua Forum Komunikasi Unit Kegiatan Mahasiswa (Forkom UKM), Bhram Kusuma, bertanya mengenai kemungkinan perubahan SSPI yang bersifat sukarela menjadi uang pangkal atau Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA) yang bersifat wajib. Sebagai respons, Ova menyatakan bahwa kebijakan SPMA akan kembali diberlakukan pada masa mendatang.
Selanjutnya, Ova juga menyatakan bahwa jenis pungutan tersebut akan dibebankan pada calon-calon mahasiswa yang diterima melalui jalur Computer Based Test Ujian Mandiri (CBT-UM) UGM. Keputusan ini menjadi perubahan kebijakan pertama dalam bidang biaya perkuliahan sejak SPMA dihapuskan bagi seluruh mahasiswa UGM pada 2013 lalu. Di samping itu, keputusan untuk memberlakukan kembali SPMA juga mendepak UGM dari daftar perguruan tinggi negeri yang tidak memungut uang pangkal dari mahasiswa jalur mandiri.
Ova menambahkan, “Terdapat 95% mahasiswa kaya yang masuk melalui jalur mandiri, namun semua orang memilih yang gratis jika ada pilihannya.” Hal tersebut menjadi salah satu pertimbangan pihak UGM untuk mengganti SSPI menjadi SPMA.
Pernyataan Ova kemudian mengundang perhatian perwakilan mahasiswa yang hadir. Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM), Gielbran Muhammad Noor, mengajukan pertanyaan untuk mengonfirmasi kemungkinan pemberlakuan kembali SPMA di masa mendatang kepada Ova. Dengan nada tegas, Ova memastikan bahwa kembalinya SPMA adalah sebuah kepastian. “Bukan kemungkinan, UGM memang akan menerapkan uang pangkal, untuk mandiri,” tandasnya.
Sebagai tindak lanjut, Gielbran meminta komitmen pihak rektorat untuk mengkaji kembali kebijakan SSPI dan melibatkan mahasiswa dalam pengkajiannya. Namun, permintaan tersebut tak diacuhkan oleh pihak rektorat. Ova justru merespons permintaan Gielbran dengan menanyakan kepentingan apa yang ia perjuangkan. Tak hanya itu, Ova juga kembali menyatakan bahwa pihak rektorat punya maksud baik di balik SSPI. “Yang penting kita ini tidak menindas pihak-pihak yang membutuhkan,” ujarnya.
Agenda hearing kemudian terpaksa dihentikan setelah Direktur Kemahasiswaan, Sindung Tjahyadi, mengambil alih forum dengan alasan keterbatasan waktu. Ia menyatakan bahwa isu-isu yang dibahas akan didiskusikan lebih lanjut dalam forum-forum selanjutnya. Pernyataan tersebut diamini oleh Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Alumni, Arie Sudjito. “Kita bisa bertemu kapan saja untuk membahas hal ini,” ucapnya.
Tidak adanya kesepakatan tertulis dalam agenda hearing rektorat kali ini menjadi kemunduran dalam upaya advokasi mahasiswa, khususnya dalam isu SSPI. Hal tersebut diperparah dengan pernyataan rektor bahwa SPMA akan diberlakukan kembali. Namun, kebijakan SPMA yang belum final masih menyisakan waktu bagi perangkat-perangkat advokasi dan mahasiswa secara umum untuk menekan rektorat sebab identitas UGM sebagai kampus kerakyatan dapat tercoreng apabila kebijakan tersebut diberlakukan kembali.
Penulis: Ari, Haikal/ Bul
Editor: Angga/ Bul