Simpang Siur Pengembangan Institusi dalam Hearing Rektorat

Foto: Ari/Bul

SSPI atau Sumbangan Sukarela Pengembangan Institusi mendapat sorotan utama dalam agenda hearing rektorat pada Selasa (13/12). Meski bukan satu-satunya pokok bahasan yang diangkat, SSPI mengundang perhatian karena masalah-masalah di dalamnya. Kecacatan formil hingga isu maladministrasi adalah sebagian dari setumpuk masalah yang terkait dengannya. Tak hanya itu, pencoretan poin tuntutan pencabutan kebijakan SSPI pada pakta integritas yang ditandatangani pihak rektorat turut mengarahkan pandangan banyak orang kepada kebijakan baru ini.

Kurangnya Koordinasi Sebelumnya Mengenai SSPI

SSPI merupakan sumbangan yang dilakukan oleh pihak universitas kepada mahasiswa yang diterima melalui jalur mandiri. Walaupun SSPI bersifat sukarela atau tidak wajib, hal tersebut dinilai tidak mencerminkan UGM sebagai universitas kerakyatan, pasalnya sudah ada Sahabat UGM yang merupakan wadah bagi pihak yang ingin memberikan sumbangan kepada UGM. Terlebih lagi kebijakan mengenai SSPI tidak ada koordinasi dan sosialisasi sebelumnya yang memperlihatkan bahwa pihak UGM terlalu memaksakan kebijakan tersebut. Hal ini dapat dilihat bahwa SSPI akan menyebabkan conflict of interest yang akan terjadi dalam institusi. 

Pihak Panja SSPI dan KKN-PPM pun sudah mengkaji kebijakan ini dan melakukan komparasi terhadap universitas yang memungut biaya tambahan untuk mahasiswa yang masuk melalui jalur mandiri. Terdapat tiga PTN yang tidak memungut biaya tambahan untuk mahasiswa baru sebelumnya, yaitu UGM, UI, dan UIN. Dalam hearing rektorat, Panja SSPI dan KKN-PPM sangat menyayangkan kebijakan SSPI yang diberlakukan karena hal tersebut tentu akan memberatkan mahasiswa baru.

Foto: Haikal/Bul

Polemik Produk Hukum Usang dan Statuta UGM dalam SSPI

Sebagaimana dikutip dari naskah policy brief yang dirilis Panitia Kerja SSPI dan KKN-PPM, ada delapan poin kesimpulan yang menjadi dasar penolakan terhadap SSPI. Kedelapan poin tersebut mencakup:

  1. Kebijakan SSPI diterapkan secara terburu-buru;
  2. Pemasukan UGM yang masih mencukupi kebutuhan tahunan UGM;
  3. Terdapat opsi Sahabat UGM yang seharusnya mampu menampung uang sumbangan juga;
  4. Dasar hukum dan perumus kebijakan yang tidak tepat;
  5. Akumulasi hasil SSPI yang tidak signifikan; 
  6. Terdapat eror dalam mekanisme SSPI yang menimpa banyak calon mahasiswa;
  7. Ada indikasi neoliberalisme dalam kebijakan SSPI; dan
  8. Mayoritas mahasiswa keberatan dengan kebijakan SSPI.

Namun, poin yang kerap diangkat dalam perdebatan antara Panja SSPI dan KKN-PPM dengan pihak rektorat, khususnya Kantor Hukum dan Organisasi UGM adalah dasar hukum dan perumus kebijakan yang tidak tepat. Ketidaktepatan yang ditemukan Panja SSPI dan KKN-PPM dalam penyusunan kebijakan SSPI adalah penggunaan dasar hukum yang telah dicabut. Dasar hukum yang dimaksud adalah Permenristekdikti Nomor 39 Tahun 2017. Peraturan menteri ini telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dalam pasal 16 Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020. 

Panja SSPI dan KKN-PPM kemudian menyimpulkan bahwa SSPI sebagai kebijakan memiliki kecacatan formil karena dilandasi oleh produk hukum yang sudah tidak berlaku. Ketidaktepatan dari sisi dasar hukum tersebut dibarengi ketidaktepatan perumus kebijakan. Sebagaimana dikutip dari kajian BEM KM UGM, keputusan rektor untuk memberlakukan kebijakan SSPI harus memiliki dasar hukum. Ketiadaan dasar hukum terkait dalam Keputusan Rektor No. 617/UN1.P/KPT/HUKOR/2022 menjadikannya sebuah tindakan maladministrasi.

Terlepas dari itu, informasi yang diperoleh SKM UGM Bulaksumur juga menyatakan bahwa Keputusan Rektor No. 617 Tahun 2022 tidak sesuai dengan statuta UGM. Ketidaksesuaian tersebut disebabkan oleh tiga hal. Pertama, pihak yang berwenang untuk menetapkan kebijakan umum di UGM adalah Majelis Wali Amanat aatau MWA, bukan rektor. Kewenangan rektor adalah menyusun rencana strategis berdasarkan kebijakan umum. 

Kedua, SSPI seharusnya diatur terlebih dahulu oleh MWA. Namun, SSPI yang diberlakukan pada TA 2022/2023 tidak diatur oleh MWA, tetapi langsung ditetapkan melalui keputusan rektor. Ketiga, keputusan rektor seharusnya baru bisa dikeluarkan jika rektor mendapat pelimpahan wewenang dari MWA melalui kebijakan atau instruksi. Namun, Keputusan Rektor No. 617 Tahun 2022 tidak diputuskan atas dasar pelimpahan wewenang MWA. 

Bagaimana Rektorat Merespons Polemik Legal SSPI

Sebagai respons terhadap poin kecacatan formil yang diajukan Panja SSPI dan KKN-PPM, Kepala Kantor Hukum dan Organisasi UGM Veri Antoni meminta maaf atas ketidakcermatannya dalam penyusunan Keputusan Rektor No. 617/UN1.P/KPT/HUKOR/2022. Selain itu, Veri juga menyampaikan bahwa kebijakan SSPI hanya berlaku pada TA 2022/2023 sebagaimana tertulis dalam keputusan rektor terkait. “Akan ada penyesuaian terkait peraturan pada tahun depan,” imbuhnya. 

Kepala Bidang Organisasi Kantor Hukum dan Organisasi UGM Hendry Julian Noor pun turut berkomentar mengenai kecacatan formil dalam Keputusan Rektor No. 617 Tahun 2022. Baginya, keputusan tersebut memang memiliki cacat formil. Namun, prinsip presumtio iustae causa yang menyatakan bahwa keputusan tersebut dianggap benar kecuali dapat dibuktikan sebaliknya memastikan bahwa keputusan itu tetap berlaku.

Hilangnya SSPI dari Pakta Integritas

Penandatangan pakta integritas oleh Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Alumni, Arie Sujito, menjadi penutup dari agenda hearing. Penandatanganan ini dilakukan Arie setelah proses perdebatan antara perwakilan rektorat yang dipimpinnya dan para perwakilan mahasiswa yang hadir. Pakta yang telah disetujui kemudian dibacakan oleh salah satu perwakilan mahasiswa, Pandu Wisesa Wisnubroto, kepada seluruh hadirin. 

Foto: Ari/Bul

Salah satu poin penting yang tercantum dalam draf awal pakta, yaitu pencabutan kebijakan SSPI, dicoret dari lembar pakta yang telah disetujui. Pencoretan poin tuntutan tersebut disebabkan oleh penolakan pihak rektorat, khususnya Arie, terhadap keberadaannya. Mereka menilai bahwa pencabutan kebijakan SSPI adalah kewenangan rektor. Mereka juga mengajukan dalih bahwa dorongan mahasiswa akan menjerumuskan Arie ke dalam penyalahgunaan wewenang.

Dalih tersebut dijelaskan oleh Kepala Bidang Organisasi Kantor Hukum dan Organisasi UGM Hendry Julian Noor. Ia menilai bahwa desakan para perwakilan mahasiswa terhadap Arie untuk menyetujui tuntutan pencabutan kebijakan SSPI tidak dapat dikabulkan karena berada di luar wewenangnya. “Tindakan di luar kewenangan merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang,” imbuhnya.

Penulis : Ari, Haikal/Bul

Editor : Langit/Bul

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here