Gempa bumi berkekuatan 5,6 magnitudo mengguncang Kabupaten Cianjur dengan kedalaman 10 km pada Senin (21/11) lalu. Berdasarkan data jumlah korban dan kerusakan yang dilansir dari Kompas TV dan BNPB, korban tewas berjumlah 328 orang, korban luka-luka mencapai 2.046, dan 62.545 warga yang mengungsi. Sementara itu, total rumah dengan kategori rusak berat adalah 22.267 unit, rusak sedang sebanyak 11.836 unit, dan rusak ringan sebesar 22.267 unit.
Gempa Cianjur merupakan gempa bumi dangkal. Gempa dangkal adalah gempa yang memiliki kedalaman antara 0-70 km dan berkekuatan kecil tetapi mampu mengakibatkan kerusakan serta korban jiwa yang luar biasa. Oleh sebab itu, gempa dangkal dianggap lebih berbahaya daripada gempa dalam.
Pada gempa dalam, gelombang seismik harus melewati jarak yang bisa menyentuh ratusan kilometer untuk mencapai permukaan, sehingga getarannya otomatis melemah. Penting untuk digarisbawahi bahwa gempa dalam biasanya memiliki kedalaman lebih dari 50 km. Sebaliknya, gempa dangkal memiliki jarak yang relatif dekat dengan permukaan sehingga gelombang seismiknya membawa energi yang lebih besar. Maka dari itu, tidak aneh apabila kerusakan yang ditimbulkan pun tidak main-main.
Sebagai perbandingan kasus, ketika gempa bumi melanda Tasikmalaya pada tahun 2017. Gempa berkekuatan 6,9 magnitudo dengan kedalaman 107 km ini mengakibatkan empat orang meninggal dunia, 25 orang luka ringan, 11 orang luka berat, serta merusak 2.953 bangunan. Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa kedua jenis gempa tersebut mempunyai perbedaan dampak yang cukup signifikan. Alasan selanjutnya adalah gempa dangkal jarang terjadi. Hal itu menyebabkan masyarakat tidak menyadari bahayanya sehingga cenderung tidak siap apabila bencana alam ini datang. Berkaca dari gempa Cianjur, tidak heran jika total korban yang meninggal dunia menyentuh angka 300 jiwa karena ketidaksiapan tersebut.
Dampak destruktif yang disebabkan oleh gempa dangkal juga tidak lepas dari pengaruh jarak dari pusat lokasi gempa. Menurut BMKG, titik pusat gempa bumi hanya berjarak sekitar 9,65 km dari Kabupaten Cianjur. Sementara itu, gempa Tasikmalaya sendiri berjarak kurang lebih 42 km barat daya dari Kawalu, Jawa Barat. Selisih jarak yang lumayan besar antara dua peristiwa ini secara langsung memperlihatkan bahwa semakin dekat dengan hiposenter, maka risiko kerusakan destruktif juga kian besar.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kerusakan, seperti tipe batuan, morfologi wilayah, konstruksi bangunan, dan kepadatan penduduk. Dilansir dari situs web resmi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, wilayah Kabupaten Cianjur tersusun oleh endapan kuarter berupa batuan rombakan gunung api muda (breksi vulkanik, lahar, tuf) yang sebagian telah terkikis dan aluvial sungai. Pada umumnya, endapan kuarter tersebut bersifat lunak, belum kompak, dan lepas. Lebih-lebih lagi, morfologi perbukitan yang terjal dan bergelombang pun tersusun dari batuan lapuk sehingga terdapat kemungkinan pergerakan tanah.
Pada akhirnya, gempa Cianjur yang digolongkan sebagai gempa dangkal dapat menyebabkan dampak serius dan mematikan. Meskipun gempa dangkal jarang terjadi, bencana ini patut diwaspadai. Terlebih, Indonesia berada di wilayah Cincin Api Pasifik sehingga rawan terjadi gempa bumi. Mulai saat ini, perkara yang harus segera ditindaklanjuti bukanlah pertanyaan yang terkait “apakah,” melainkan “kapan”. Sudah saatnya para pemangku jabatan memikirkan solusi agar dampak serupa tidak terjadi untuk kedua kali.
Penulis : Rinanda Amalia Diaz Saputri/ Bul
Editor : Adiba Tsalsabilla/ Bul