Kenaikan BBM Itu Memperbaiki Atau Mencekik?

Foto : Reporter Bul

Kenaikan BBM berdampak pada semua lapisan masyarakat, meskipun penunjang kebijakan pemerintah dari berbagai sisi, seperti kenaikan minyak bumi, polusi yang semakin meningkat, dan sudah dipermudah dengan BLT untuk masyarakat kurang mampu telah dipertimbangkan. Akan tetapi, pemerintah juga perlu memperbaiki ketimpangan yang terjadi dan menindaklanjuti apa yang masyarakat rasakan secara nyata dengan fasilitas aksi dari mahasiswa. 

“Bensin naik, muter-muter ring road bukan solusi lagi buat healing,” salah satu tulisan yang dilihat oleh peserta demonstrasi mahasiswa akibat kenaikan BBM (3/9/2022). Tulisan tersebut menjadi satu dari sekian keresahan mahasiswa yang notabenenya memiliki mobilisasi cukup aktif. Selain itu, transportasi efektif dalam berkendara di kota pelajar seperti Yogyakarta adalah kendaraan pribadi sejenis motor dan mobil. Bagi anak rantau, hal pokok sejenis bahan bakar menjadi perhitungan membagi uang kiriman orang tua dengan kebutuhan lainnya. Besar dampak kenaikan BBM menimbulkan kerentanan, bukan hanya bagi mahasiswa tetapi juga berbagai lapisan masyarakat terutama kelas menengah ke bawah. 

Krisis Keuangan Pemerintah

Di lain sisi, kebijakan ini dinilai mampu memberi angin segar pada APBN yang terasa berat. Kebutuhan rakyat semakin naik, sedangkan pemasukan pemerintah kecil sehingga perlu dikurangi supaya masyarakat lebih mandiri. “Selama ini yang paling banyak membutuhkan itu (pertalite) ‘kan mobil. Pemilik mobil diasumsikan sudah berpenghasilan di atas rata-rata sehingga harus diketatkan. Selain pemerintah tidak tegas, masyarakat kita juga mentalnya mental kere. Wong sudah bisa naik mobil kok belinya pertalite? Artinya, pemerintah juga harus menegasi mental rakyat sebab warga negara hanya bisa diatur dengan peraturan,” ungkap Diasma Sandi Swandaru, S.Sos., M.H. dari Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada atas perbaikan kondisi masyarakat yang berproses tidak bisa langsung. 

Kebijakan terkait kenaikan BBM ini dicetuskan dengan melandaskan instrumen subsidi dari pemerintah. Indikator kenaikan harga minyak bumi di pasar dunia disampaikan pada putusan tersebut untuk tetap menjaga stabilitas keuangan negara. Tanggapan yang diberikan masyarakat akan regulasi tersebut beragam, seperti berusaha menerima apa yang terjadi, memahami latar belakang yang disampaikan, atau menuntut penjelasan lebih atas pengaruh yang diberikan. 

Dinamika Tuntutan Kejelasan Sikap

Aliansi Mahasiswa UGM merundingkan terlebih dahulu sikap dan perilaku yang akan diambil mengenai berita tersebut. Permintaan statement dari pihak kampus  menjadi titik terang setelah diadakan konsolidasi.  Melalui pecahnya aksi 12 September di kawasan Bunderan UGM, tuntutan penjelasan berfokus pada kenaikan BBM dan tindakan lebih lanjut dari pihak kampus. Selain itu, aksi penolakan kenaikan BBM digencarkan pula pada hari yang sama di depan Gedung DPRD DIY. Sayangnya, hasil yang diharapkan dari usaha-usaha tuntutan tersebut tidak membuahkan hasil sama sekali. 

Aksi kembali digerakkan di depan Pasar Beringharjo tiga hari pascakejadian (15/9/2022). Pasar Beringharjo dipilih sebagai lokasi agar lebih dekat kepada masyarakat, pihak yang terdampak cukup besar karena kenaikan BBM. Demonstran berasal dari berbagai universitas di Yogyakarta  dan beberapa LSM. Namun, tetap tidak ada respon dari UGM bahkan sampai akhirnya bakar jas almamater sebagai bentuk kekecewaan. “Kenapa hanya diam saja? Kita enggak memusingkan respon apapun yang diberikan, asalkan jangan diam aja. Apakah UGM pro atau kontra dan kenapa bisa begitu? Tujuannya mendapat sense yang jelas dari kampus,” kata Brema (FEB 2019) yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa UGM. 

Foto : Reporter Bul

Apakah UGM Lepas Tangan?

Sebagai branding kampus kerakyatan, mahasiswa mengharapkan keberpihakan pihak kampus satu suara untuk menolak dan menuntut pencabutan kebijakan. Jangka panjang dari kepedulian ini mampu menormalkan kembali harga BBM. “Masyarakat awam itu careless tentang alasan-alasan yang diberi karena lebih merasakan dampak langsung dari apa-apa yang jadi mahal,” cerca Brema dalam mewakilkan suara rakyat.

Rektor memiliki kewenangan struktural tertinggi dalam menjalankan hak untuk menanggapi atau tidak. Dalam kata lain, tidak ada yang mengharuskan institusi untuk menyikapi aksi yang dilakukan oleh pihak aliansi. Akan tetapi, hal tersebut harus menjadi kebijakan lembaga dalam membuat statement. Institusi dapat menanggapi melalui bagaimana mereka berdiskusi karena tidak boleh hanya berbasis dari adanya orang-orang yang vokal saja. Contoh pada tahun 1998, UGM membuat Pokja dengan Surat Keputusan lengkap, bahkan rektor saat itu turun ke gelanggang ikut demo karena ada urgensi yang luar biasa. Hal ini dapat dinamakan sebagai kampus mengambil sikap.

Menurut Diasma, BBM tidak hanya sekadar “tolak BBM, bantu subsidi rakyat.” Banyak hal rumit yang orang tidak tahu dibalik ini. Alur negara sehat apabila pajak dikelola dengan baik karena tidak hanya mengandalkan sumber daya alam dapat menjadi poin untuk dipertimbangkan. Advokasi dapat berupa meningkatkan pendapatan rakyat sehingga pajak semakin tinggi. “Saya sepakat kalau yang digenjot itu keputusan yang berani, seperti kalau kamu punya mobil tidak boleh beli pertalite lagi. Pemerintah harus tegas dengan hanya membolehkan makan pertalite itu kendaraan 1400 cc,” tambah beliau. 

Foto : Reporter Bul

Laboratorium Politik Bersama Rakyat

Tanggapan positif bahwa demo termasuk dalam pendidikan politik perlu didukung kampus dengan memberikan laboratorium pendidikan. Demo yang dilakukan secara damai merupakan laboratorium untuk mempraktikkan yang namanya konsep kontrol kebijakan. Dalam aksi tersebut, mahasiswa dilatih untuk berpikir kritis dan bernalar dengan jelas. Persiapan teknis lapangan dan ekspektasi partisipan dari berbagai fakultas UGM menjadi manifesto dukungan terhadap rakyat. Selain menuntut bagaimana urgensi kenaikan BBM, mahasiswa juga mempertanyakan seberapa tepat sasaran bantuan penunjang isu ini berjalan.

Terbitnya kebijakan memang dinyatakan akan dibarengi dengan pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT). Hal ini bertujuan untuk membiasakan masyarakat miskin, karyawan, dan buruh selama 3 bulan dengan perubahan harga BBM yang baru. Bantuan tersebut dinilai pemerintah mampu membantu masyarakat agar tidak terlalu kaget dengan harga BBM yang baru. Akan tetapi, isu ini menjadi tuntutan susulan terkait fakta yang ditemukan pihak aliansi. Terdapat kecacatan yang terjadi pada pemberian BLT kepada masyarakat yang membutuhkan. 

Penerapan BLT secara strukturisasi dinilai buruk karena klaim untuk masyarakat pra-sejahtera atau tenaga kerja berpenghasilan Rp3.500.000 dianggap sama dengan daya beli gaji double digit. Selain itu, banyak pekerja yang masuk sektor informal tidak terdata BPS, dan tanpa memperoleh jamsostek. “Nah, itu gimana? Apakah orang-orang seperti itu tidak akan dapat BLT atau mau dibiarin mati aja. Di situlah, kita masih terus mempertanyakan kebijakan ini,” tutur Brema dalam menerangkan alasan mahasiswa tetap kontra, meskipun beberapa artikel mengatakan bahwa negara sudah tidak sanggup membiayai.

Tolok ukur pemerintah yang menyatakan bahwa kenaikan BBM mengikuti kenaikan harga minyak bumi ataupun dari ICP pun dianggap tidak seimbang. ICP mencanangkan hal ini diiringi dengan meningkatkan pendapatan pemerintah. Data inilah yang tidak bisa dibuka dengan transparan. “Misal, pemerintah bilang uang subsidi 502 triliun ini bisa jadi sekolah dan rumah sakit. Sebelum ada kenaikan BBM itu, enggak ada subsidi sebanyak itu loh. Makanya, tuntutan aksi kemarin diharap bisa didengar dan BBM bisa turun supaya masih bisa healing ke kaliurang atas sambil nangis tanpa mikirin bensin,” pungkas Brema dalam menutup tanggapannya terkait isu BBM naik dan aksi mahasiswa ini.

Penulis: Khoirida

Editor : Langit

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here