Demi mengejar kuantitas pemberitaan, kualitas dan landasan kode etik dilupakan
Konseptualisasi KS dan Pemberitaan Sepihak
Berita kasus kekerasan seksual sering mendapat perhatian khusus dari media massa nasional (Perempuan, 2015). Hanya saja perhatian tersebut kerap disertai pelanggaran kode etik jurnalistik. Terlebih lagi dengan langgengnya rape culture, di mana pemerkosaan dianggap wajar dan normal karena sikap masyarakat terhadap gender dan seksualitas. Akibatnya, fenomena kekerasan seksual sering dinormalisasi dan menjadi komoditas media.
Pemilihan sumber informasi yang bias, sering membuat pemberitaan terkesan sepihak. Belakangan ini ramai ditemui pelanggaran kode etik jurnalistik seperti pemberitaan kekerasan seksual oleh media pada salah satu situs berita kumparan.com dengan judul “Pria Setubuhi Anaknya di Lumajang, Babak Belur Dipukuli Sesama Tahanan” (KumparanNews, 01/08/2019). Dalam berita tersebut, nama pelaku yang merupakan ayah kandung korban disebutkan secara jelas tanpa penggunaan inisial ataupun nama samaran.
Tidak hanya itu, foto pelaku pun disertakan secara terang-terangan. Hal itu melanggar kode etik jurnalistik pasal 5 yang menekankan bahwa wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Meskipun dalam pemberitaan tersebut tidak disebutkan secara langsung identitas korban pelecehan seksual, tetapi penyebutanidentitas pelaku dan penggunaan foto ayah kandung korban dapat menimbulkan kerugian bagi korban.
Suara.com juga menerbitkan berita yang menyalahi kode etik jurnalstik, berjudul “5 Fakta NF Pembunuhan Bocah di Sawah Besar, Diperkosa 3 Orang hingga Hamil” (Suara.com, 14/05/2020). Berita ini melanggar kode etik jurnalistik pasal 5. Media tersebut mencantumkan foto korban di bawah judul berita. Foto tersebut memperlihatkan dengan jelas seragam, tubuh, dan aksesoris yang digunakan seperti tas sehingga pembaca dapat mengidentifikasi identitas korban. Terlebih, berita tersebut juga mencantumkan foto rumah korban.
Kepedulian Berkembang tetapi Menyesatkan
Sejumlah media kerap memanfaatkan kasus kekerasan seksual sebagai isu yang dilebih-lebihkan dengan unsur pornografi. Pemberitaan kekerasan seksual dieksploitasi dengan citra seksual kepada para pembaca dan cenderung tidak peka terhadap kondisi korban. Maka dari itu, sepertinya pernyataan bahwa berita buruk adalah kabar baik bagi media, bukan hanya omong kosong belaka. Pembaca disajikan dengan berita buruk, dengan tulisan yang cenderung vulgar dan menyudutkan korban (Rossy & Wahid, 2015).
Pemberitaan terkait kronologi kekerasan seksual masih mengundang pro kontra di kalangan pengguna media sosial, apalagi jika penyebar berita tersebut bukanlah korban itu sendiri. Meski sebagian pihak menilai bahwa hal tersebut boleh saja dibagikan secara rinci, pihak lain menentang hal tersebut terutama bila tanpa persetujuan dari korban. Sebagaimana pendapat yang kami peroleh dari Putri Nadia (Teknik Kimia ’20), bahwa penyebaran kronologi terkait kekerasan seksual secara rinci bukanlah sesuatu yang etis. “Kasihan nggak sih, korbannya?”, ujar Putri. Selain itu, hal tersebut pun bisa saja memberikan kerugian kepada korban.
Kini tidak hanya media resmi seperti pers dan pihak berwajib saja yang dapat menyebarkan informasi. Setiap orang dapat dengan mudah mengakses, mengulik atau membagikan kronologi kekerasan seksual yang dialami seseorang. Contohnya, saat ada suatu kasus yang muncul ke permukaan, tidak lama kemudian muncul pula berbagai akun anonim yang ikut menyebarkan kronologi tersebut tanpa melakukan penyaringan.
Alan (Ilmu Komunikasi’20) anggota LPM Buana Pers berpendapat bahwa boleh saja menyebarkan informasi kekerasan seksual, baik dari segi pelaku ataupun korban dengan catatan harus ada persetujuan kedua belah pihak dan tidak mengintimidasi siapapun. Selain itu, perlu adanya verifikasi sebelum menyebarkan informasi tersebut. Jurnalis harus memperhatikan diksi penulisan berita supaya tidak terlalu vulgar. Oleh karena itu, penting bagi media untuk memiliki sikap berpihak kepada korban kekerasan seksual.
Kejelasan Berita Dipertanyakan, Siapa yang Bertanggungjawab?
Beberapa hal kerap menjadi penyebab carut marut pemberitaan media terhadap masalah kekerasan seksual. Pertama, kekerasan seksual dianggap terjadi di luar kendali pelaku, budaya patriarki yang masih kental, bahkan di beberapa ruang redaksi. Selain itu, belum adanya pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) (Aristi, dkk, 2021).
Perspektif gender di media massa, terutama dalam jurnalisme, dapat mewujudkan sensitivitas gender, sehingga fenomena pemberitaan yang tidak berperspektif korban dapat ter-reduksi. Media secara tegas harus menentukan keberpihakannya, bukan hanya mengikuti keinginan komersil. Hal ini dapat menjadi sarana guna membebaskan media, dan memberdayakan kelompok marginal.
Korban pemberitaan media yang mendapat kerugian akibat berita yang menyudutkan dapat meminta hak jawab kepada media pelaporan atau melaporkan media ke Dewan Pers. Media memiliki kekuatan tak hanya melakukan pemberitaan, juga membuat ajakan kepada pembaca untuk menciptakan ruang aman dengan mendukung lingkungan pro-korban dan mendorong penyediaan peraturan yang memiliki perspektif pro-korban. Pembaca harus dilihat sebagai kelompok yang aktif, daripada pasif, sehingga perubahan nyata dapat terjadi.
Penulis: Sonia Valda Hersalenka, Fira Nursaifah Marsaoly, Puri Puspita Loka, Azlia Qothrunnada/Bul
Editor: Yuniardo Alvares/Bul