Tidak ada yang tidak tahu siapa Bana. Orang-orang di pasar itu hafal betul rutinitasnya. Pria jangkung yang selalu memakai topi merahnya itu hanya punya satu bingkai kesayangan yang begitu dibanggakannya. Ia akan membawa bingkai besar itu setiap pagi, lalu memajangnya di sudut pasar bersama sebuah gambar yang dijepret dari kamera kuno miliknya. Setelah itu, orang-orang pun akan datang dengan penasaran untuk melihat gambar apa yang ada di bingkai Bana hari itu. Karena itulah ia dijuluki seniman bingkai oleh orang-orang, sebuah julukan yang cukup membuat Bana bangga dan bersemangat menjalani hari-harinya.
Sekali waktu, mereka akan mendapati pemandangan langit senja, sekali waktu yang lain adalah gambar burung jantan yang tengah mencuri perhatian lawan jenisnya. Orang-orang yang takjub itu kemudian akan memberikan koin secara cuma-cuma di dalam kotak kayu yang diletakkan di samping bingkai besar.
Seperti biasa, pagi itu Bana dengan semangat menenteng bingkai kesayangannya sembari bersiul-siul gembira.
“Gambar apa yang kau bawa pagi ini hingga kau terlihat amat gembira, kawanku?” tanya Roko, penjual kerajinan kayu yang sedang menata dagangannya.
“Kalau penasaran, datang saja ke sudutku. Kau akan terkejut,” pancing Bana dengan wajah sumringah.
“Wahh, kau memang pintar membuat penasaran,” balas Roko sambil geleng-geleng kepala. “Ya, nanti sore aku akan mampir sebelum kau tutup. Doakan saja ada yang memborong daganganku ini biar aku pulang cepat,”
“Kutunggu ya. Kau benar-benar tidak akan menyesal,”
Bana pun berlalu menuju sudutnya—itu adalah sebuah sudut pasar yang tidak begitu luas, tetapi pohon jati yang tumbuh menjulang di sana membuat tempatnya teduh dan sejuk. Sampai di sana, ia langsung mengeluarkan gambar jepretannya cepat-cepat dan memasangnya ke bingkai yang dibawanya.
Dengan wajah penuh kebanggaan, seharian itu dipamerkannya gambar langit penuh lampion yang dijepretnya malam lalu dari desa tetangga yang letaknya berpuluh-puluh kilometer dari pasar. Ia benar-benar harus mengeluarkan banyak usaha dan tenaga untuk sampai ke desa yang terkenal dengan pesta lampionnya itu, bahkan sampai rela mengurangi jam istirahatnya. Namun, ia sangat puas ketika bisa pulang dengan gambar yang kini membuat orang-orang menganga takjub dan menatap dengan mata berbinar-binar.
Bagaimana orang-orang tidak takjub, mereka jarang sekali bisa melihat pemandangan-pemandangan indah karena terlalu sibuk mengumpulkan uang. Belum lagi, desa yang mempunyai pesta lampion itu benar-benar jauh. Mereka harus mengeluarkan banyak tenaga dan waktu untuk sampai ke sana, sedang mereka terlalu sibuk berjualan di pasar atau menggarap ladang.
Tak heran jika orang-orang yang datang hari itu begitu betah berlama-lama berdiri di depan bingkai Bana, seakan-akan dibawa hanyut dalam suasana malam yang gemerlap dan penuh cahaya. Seiring dengan ramainya orang yang datang, satu demi satu koin masuk ke kotak Bana dan memupuk senyum yang luar biasa besarnya di bibir Bana hari itu.
–00–
Hari-hari berjalan seperti biasa bagi Bana. Menjepret berbagai gambar baru masih menjadi keseharian yang membuatnya bersemangat. Sampai suatu waktu, ketika ia sedang membereskan bingkainya dan bersiap untuk pulang, seorang pemuda berpakaian mewah mendatanginya.
“Aku ingin menawarkan sesuatu kepada kau, wahai seniman bingkai,” ujarnya dengan suara dalam.
Bana mengernyitkan dahinya. Ia benar-benar belum pernah menemui pria itu sebelumnya. Ia tampak begitu asing.
“Kalau boleh tahu, siapa nama Anda?” tukas Bana untuk memecah rasa penasarannya.
“Oh, ya, aku sampai lupa memperkenalkan diri. Aku Raba, salam kenal wahai seniman,”
Mereka pun berjabat tangan. Bana agak terkejut mendapati betapa kuat jabatan tangan itu. Belum lagi sorot mata tajam si pria yang terlihat begitu mahal. Sudah pasti ia orang terhormat, pikir Bana.
“Aku ingin menawarimu sesuatu. Aku sudah mendengar tentang seberapa terkenal engkau dan betapa bagus gambar-gambar yang kau sajikan di bingkai besar itu,”
Pria itu berhenti sejenak. Rautnya terlihat bersiap-siap untuk mengatakan suatu perkataan yang fantastis.
“Aku akan membayarmu dengan 1000 koin emas jika kau mau memajang hanya gambar-gambar tentangku di bingkai itu selama setahun saja,”
Bana agak terkejut dengan tawaran itu. Itu cukup gila menurutnya. 1000 koin emas bukanlah jumlah yang sedikit. Ia bisa membeli rumah berhalaman luas dan makan daging setiap hari dengan koin sebanyak itu.
“Aku hanya akan memberikan penawaran ini sekali saja. Apabila kau tidak ambil, aku tidak akan pernah menawarkannya lagi,” ucap pria itu di sela kediaman Bana yang tengah berpikir keras.
Bana merasa semakin bingung. Apakah tidak apa-apa untuk memajang gambar tentang pria itu terus-menerus? Apakah orang-orang tidak akan bosan? Namun, pada akhirnya, setelah merenung cukup lama, ia akhirnya tergiur juga dengan tawaran 1000 koin emas itu. Setelah berjabat tangan tanda kesepakatan, mereka pun berpisah pada penghujung sore dengan langit yang mulai menggelap.
–00–
Hari-hari berjalan seperti biasa lagi. Awalnya semua berjalan normal seperti biasanya. Orang-orang masih antusias ketika Bana memajang jepretan sosok si pria kaya dari arah samping, memperlihatkan ketampanan seorang golongan kelas atas yang bisa membuat banyak orang terpesona. Di lain waktu, Bana menjepret tangan lentik si pria yang dilingkari jam tangan antik, suatu waktu lagi adalah bahu lebarnya yang berbalut jas mahal bertabur batu berlian. Ketika ia mulai kehabisan akal, Bana bahkan sampai menjepret sangkar emas milik hewan peliharaan si pria kaya.
Meskipun awalnya tampak berjalan mulus, tetapi lama-lama orang-orang mulai sadar bahwa Bana terus menerus mengambil objek yang hampir sama—semua adalah tentang si pria kaya itu. Orang-orang pun mulai enggan lagi datang melihat gambarnya. Bahkan, sebagian yang lain mulai mencibirnya dan mengatakan kalau ia bukan lagi seniman bingkai, melainkan hanya seorang pelayan.
Bana awalnya tidak menghiraukan respon negatif orang terhadapnya. Namun, ketika sudutnya berangsur-angsur menjadi sepi, bahkan tidak ada lagi orang yang mau datang ke sana, Bana mulai merasakan perasaan kosong itu. Diam-diam ia rindu masa-masa ketika orang berbondong-bondong pergi ke sana hanya untuk melihat gambar jepretannya. Ia rindu melihat senyum kekaguman orang-orang sehabis melihat gambarnya. Ia benar-benar ingin melihat lagi ketika orang-orang tampak begitu bahagia dan melupakan sejenak beban pikiran yang mereka tanggung kala menatap gambar yang terpajang di bingkai kesayangannya.
Bahkan, tidak hanya sudutnya menjadi sepi tanpa pengunjung, kegiatan mengambil gambar pun menjadi tidak menyenangkan lagi baginya. Ia benar-benar mulai muak untuk terus menjepret segala sesuatu tentang si pria kaya yang menurutnya tidak ada sisi menariknya. Ia juga merasa bahwa kini ia seperti menjalani hari-hari di bawah tekanan.
Meratapi segala yang terjadi setelah menerima tawaran 1000 koin emas, Bana memejamkan matanya sembari berpikir kembali di atas ranjang tuanya. Apakah ia akan terus melanjutkan memajang gambar pria kaya itu? Atau lebih baik ia mengembalikan 1000 koin emas itu saja—yang sayangnya sudah ia belanjakan sebagian—dan kembali memajang gambar dengan bebas seperti dulu?
Malam itu, Bana benar-benar tidak bisa tidur. Kepalanya begitu penuh.
Penulis: Tri Angga/Bul
Editor: Vina Annisa R./Bul