Harapan Palsu: Problematika RUU PKS yang Tak Kunjung Disahkan

Foto : Hafis/Bul

Kekerasan seksual merupakan fenomena yang tidak hanya terjadi pada salah satu jenis kelamin saja, bahkan lebih dari itu kekerasan seksual juga menghantui berbagai macam umur dan kalangan masyarakat. Berbagai bentuk kekerasan terus berkembang dalam kehidupan masyarakat, mulai dari kekerasan luring yang memerlukan kontak fisik hingga kekerasan daring melalui media virtual (dilansir dari Komnas Perempuan). Dinamika yang terjadi mengenai tingginya angka kekerasan seksual di Indonesia justru memperlihatkan fakta miris di belakangnya. Selama ini, belum ada peraturan perundang-undangan yang mengakomodir seluruh tindak pidana dan kekerasan seksual sehingga mengakibatkan terjadinya kekosongan dan ketidakpastian hukum. Padahal penting bagi negara dalam menyediakan regulasi yang melindungi korban kekerasan seksual.

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) selalu diharapkan akan segera dibahas dan disahkan demi penghapusan kekerasan seksual dan jaminan akan hak-hak korban. Namun, paska Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tanggal (30/8) lalu, judul hingga konsep RUU PKS banyak yang diubah. Draf terbarukan dari RUU PKS versi Baleg DPR RI yang baru saja beredar malah mengesampingkan berbagai elemen-elemen yang luar biasa penting demi penghapusan kekerasan seksual itu sendiri. 

Pembaruan aturan hukum merupakan hal yang tidak terelakkan. Negara perlu merespon berbagai masalah yang berkembang agar dapat menciptakan aturan yang tegas dan tepat sasaran. Sebelumnya RUU PKS menetapkan bentuk kekerasan sebanyak sembilan jenis: pelecehan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Sementara itu, RUU TPKS atau draf terbaru hanya menetapkan bentuk kekerasan sebanyak empat macam: pelecehan seksual, pemaksaan alat kontrasepsi, pemaksaan hubungan seksual, dan eksploitasi seksual.

Melalui perjuangan yang panjang untuk segera disahkan, para penguasa justru berupaya melemahkan. Padahal, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak  mencatat kekerasan seksual pada anak dan perempuan mencapai angka tertinggi pada tahun 2020 yakni sekitar 7.191 kasus dari total jumlah kasus kekerasan pada anak dan perempuan yang mencapai angka 11.637  (dilansir melalui kemenpppa). Banyak ditemui pula korban diantara kasus-kasus tersebut dipaksa untuk menandatangani surat damai, sehingga  pada situasi ini sudah seharusnya menjadi cerminan bersama untuk kembali mengawal pengesahan RUU PKS. Namun demikian, alih-alih menjadi pelindung bagi korban, draf RUU PKS justru memuat banyak sekali perubahan yang merugikan mereka secara signifikan. Bahkan, dapat dikatakan bahwa perubahan-perubahan tersebut menghilangkan napas dan esensi utama rancangan, yang berperspektif korban dan keadilan yang tidak hanya bersifat punitif. Usaha-usaha pengebirian RUU PKS dalam draf yang baru adalah sebagai berikut:

  1. Penghapusan lima bentuk kekerasan seksual.
  2. Dihapusnya sub-bab mengenai jaminan hak, pemulihan, dan perlindungan korban kekerasan seksual.
  3. Perubahan judul naskah dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
  4. Absennya pengaturan mengenai kekerasan gender berbasis online.
  5. Hilangnya pedoman bagi aparat penegak hukum untuk berperspektif korban.
  6. Menyamakan kekerasan seksual terhadap korban dewasa dan anak.
  7. Hilangnya pemberatan hukuman bagi pemuka agama.
  8. Peran pendamping paralegal dihilangkan.
  9. Hilangnya perlindungan khusus bagi korban dengan disabilitas.
  10. Hilangnya ketentuan mengenai pemaksaan aborsi.

Para pemegang jabatan tidak seharusnya tutup mata dalam melihat fenomena dan kondisi yang ada pada saat ini dengan maraknya kasus kekerasan seksual. Padahal, upaya untuk merealisasikan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual harus menjadi perjuangan bersama. Hal ini dilakukan dalam rangka mewujudkan negara yang adil dan makmur, serta aman bagi seluruh masyarakat. Karenanya, peran masyarakat tidak boleh ditinggalkan dan dikesampingkan oleh pemerintah untuk terus mengawal RUU PKS. 

Referensi :

Subarkah, A. A. J., & Tobroni, F. (2021). Urgensi Pengesahan RUU PKS Terhadap Instrumen Penegakan Hak Asasi Perempuan. Supremasi Hukum: Jurnal Kajian Ilmu Hukum, 9(2).

Gultom, P. (2021). RUU PKS, Kewajiban Negara dan Perlindungan dari Kekerasan Seksual.

Patros, A., & Anggelia, C. (2021). Polemik Desakan Pengesahan RUU PKS: Suatu Tinjauan Sistem Hukum Nasional dan Perspektif Hak Asasi Manusia. Jurnal Komunikasi Hukum (JKH), 7(2), 628-640.

Rais, N. F., Manurung, G. P., & Wardani, A. K. (2019). Analisis Keberlakuan RKUHP dan RUU-PKS dalam Mengatur Tindak Kekerasan Seksual. Lex Scientia Law Review, 3(1), 55-68.

Anonim. 2020. Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak. | https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/2738/angka-kekerasan-terhadap-anak-tinggi-di-masa-pandemi-kemen-pppa-sosialisasikan-protokol-perlindungan-anak. Diakses pada Sabtu, 10 September 2021, pukul 23.51

Anonim. 2021. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. | https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/catahu-2020-komnas-perempuan-lembar-fakta-dan-poin-kunci-5-maret-2021. Diakses pada Sabtu, 11 September 2021, pukul 00.09

Penulis: Sonia Valda Hersalenka/Bul

Editor: Seftyana Nisa/Bul

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here