“Jalan ninja yang menyesatkan nyatanya masih diminati kalangan mahasiswa terpelajar. Fenomena satu ini membuat tergiur berbagai kalangan karena sangat menjanjikan.”
Menjamurnya aktivitas pembelajaran daring di tengah kondisi pandemi, menuntut mahasiswa harus lebih kreatif dalam menekuni materi yang diberikan oleh dosen. Penerimaan bahan ajar secara virtual dengan pemberian tugas yang terasa berkali lipat dari sebelumnya, dirasa lebih menguras tenaga, fisik, dan pikiran. Banyaknya keluhan dan beban pikiran menjadikan alasan utama mahasiswa memilih ‘jalan ninja’ ini sebagai jalan keluar, yakni joki tugas. “Joki tugas sangat memberi kemudahan di kala sibuk dan keteteran untuk mengerjakan tugas” kata salah seorang customer. Hal tersebut didukung dengan penawaran menarik dan jasa perjokian yang berasal dari kalangan terpelajar, mulai dari kumpulan program studi, platform belajar, hingga universitas. Sehingga, customer tidak merasa khawatir dengan tugasnya, bahkan kepercayaan yang dibangun antara si penjoki dan pelanggan setianya cukup dibilang harmonis.
Peluang menyesatkan
Fenomena yang bisa dibilang solutif bagi kalangan mahasiswa yang kesulitan mengerjakan tugas, sibuk dengan organisasi atau perlombaan, menjadi alternatif untuk menyerahkan tanggung jawabnya pada penjoki tugas. Keadaan yang memprihatinkan dan menyedihkan ini mencerminkan kondisi praktik dan kultur pendidikan di Indonesia. Mayoritas kalangan cenderung mencari aspek yang bersifat sangat pragmatis dengan tolak ukur penilaian yang terlalu positivistik, membuat pihak-pihak yang terlibat memanipulasi untuk sebuah keuntungan. “Terus terang ini masalah yang mengejutkan, pihak-pihak yang memanfaatkan situasi pandemi ini dan beberapa kendala yang meliputi, maka mahasiswa dan dosen termasuk disitu untuk memanfaatkan kepentingan bisnis dan material” ungkap Rachmat Hidayat, Ph.D, dosen Fakultas Filsafat UGM. “Saya kira ini memang menuntut kita para dosen dan perguruan tinggi termasuk fakultas-fakultas juga mengevaluasi cara belajar dan cara mengajarnya, apakah itu menjadi beban bagi mahasiswa dan membuka peluang untuk perjokian. Sanksinya hanya E, tidak ada toleransi karena menyangkut kode etik akademik dan kode kejujuran,” tambahnya.
Ilegal, tetapi tetap dijalankan
Oknum perjokian ini dijalankan atas beberapa pendapat yang beragam dengan dihadapkan oleh kondisi serba tidak pasti. Berdasarkan salah satu penjoki yang kami wawancarai, praktik yang dilakukan nyatanya bukan perkara yang mudah untuk digeluti. “Joki tugas merupakan sesuatu yang ilegal. Namun, karena krisis moneter yang memaksa saya melakukan hal ini demi menafkahi diri sendiri” ujar si penjoki. Cukup memprihatinkan tetapi hal buruk ini seharusnya tidak terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Apalagi di tengah pesatnya arus informasi, jasa perjokian bagaikan bisul yang makin hari makin besar dan melebar. Karena telah marak diminati, tidak sedikit oknum membuka praktik perjokian di tengah pandemi. Dengan modal ilmu yang didapat serta sumber informasi di internet, penjoki dapat memperoleh uang dari hasil jokinya. “Uang yang saya terima tergantung kesulitan dan waktu penugasan. Terkadang dalam seminggu bisa dua-tiga joki”. Maraknya fenomena joki tugas dalam seiring berjalannya waktu terus dinormalisasi oleh sebagian kalangan. Walaupun begitu, dengan menghargai usaha diri sendiri, tentu kita tahu mana yang harus kita pilih.
Penulis: Fira Nursaifah Marsaoly, Sonia Valda Hersalenka/ Bul
Editor: Juwita Wardah/ Bul