TOEFL-Test of English as a Foreign Language bukan suatu hal yang baru khususnya bagi kalangan akademisi. Tes TOEFL berfungsi untuk menguji kemampuan seseorang dalam berkomunikasi, memahami, serta menulis dalam Bahasa Inggris (Speaking, Reading, Listening, dan Writing). Dewasa ini, terdapat dua jenis tes TOEFL yang dilaksanakan oleh lembaga penyelenggara yang disebut ITP (Institutional Testing Program), jenis pertama yaitu Paper based test (PBT) dengan skala skor 310-677, dan Internet Based Test dengan skala skor 0-120.
Skor minimum lulus TOEFL
Umumnya tes TOEFL digunakan sebagai syarat untuk mendaftar institusi tertentu seperti melamar pekerjaan atau sebagai syarat lulus strata 1 (S1) dan aplikasi beasiswa sekolah, maka skor minimal untuk mendapat predikat lulus juga tergantung dari standar yang diberlakukan institusi tersebut. Akan tetapi di Indonesia sendiri, rata-rata skor TOEFL berkisar pada angka 500 untuk Paper Based Test atau 50 pada tes iBT. Namun baru-baru ini muncul sebuah pertanyaan ‘pedas’ yang viral di twitter karena dilontarkan salah seorang dosen universitas kenamaan mengenai skor di atas 550 yang sepantasnya mudah didapatkan oleh anak muda yang sering mengakses berbagai konten berbahasa Inggris. “Serius nanya, untuk mereka yang berusia 17-21 tahun. Emangnya susah banget ya mencapai TOEFL 550? Kalian kan milenial , nonton youtube, film, e-book bahasa Inggris dsb? Harusnya mudah gak sih ya?” berikut kutipan tweet viral yang banyak memicu perdebatan di kalangan netizen.
Relevansi daily English dengan skor TOEFL
Sebuah penelitian pada tahun 2014 yang melibatkan sebanyak 607 siswa Sekolah Menengah Atas dari Cina dan Inggris membuktikan bahwa kegiatan ekstrakulikuler di luar pelajaran dalam kelas memberikan hasil yang signifikan terhadap peningkatan skor TOEFL secara general. Dalam penelitian tersebut, diketahui bahwa preferensi kegiatan ekstrakulikuler yang dipilih oleh siswa dari dua negara tersebut berbeda. Siswa dari Cina cenderung memilih kegiatan membaca buku berbahasa Inggris serta kegiatan reseptif lainnya sepeti mendengarkan dan menonton acara berbahasa Inggris untuk meningkatkan kemampuan berbahasa mereka. Sedangkan siswa dari Inggris memilih untuk mengikuti diskusi online dan menulis email. Hasil dari TOEFL postest yang didapat adalah siswa dari Cina cenderung lebih unggul dalam peningkatan skor Reading dan Listening Section (kemampuan reseptif), sedangkan siswa dari Inggris mendapat skor Writing dan Speaking Section (kemampuan imersif) yang lebih baik. Hal tersebut terlepas dari bahasa ibu yang mereka gunakan sehari-hari.
Meskipun implikasi berbahasa Inggris dalam kegiatan sehari-hari menunjukkan hasil yang relevan terhadap peningkatan skor TOEFL, namun beberapa faktor lain tidak lepas dari keberhasilan terhadap penguasaan bahasa kedua, atau dalam kasus ini adalah bahasa Inggris. Faktor tersebut antara lain: (a) cara bahasa kedua diekspos kepada pelajar seperti melalui interaksi searah atau pembelajaran di depan kelas, (b) interaksi sosial, dan faktor situasional yang terkait dengan pembelajaran bahasa, (c) faktor kognitif, (d) faktor sosial budaya, serta beberapa faktor lain yang berhubungan dengan desain kurikulum serta metode pembelajaran.
Faktor-faktor di atas menyiratkan bahwa sekolah menjadi salah satu tempat pertama bagi seseorang dalam mengenal bahasa asing. Dasar berbahasa Inggris yang baik dari sekolah akan berpengaruh besar terhadap pemahaman serta motivasi diri untuk terus meningkatkan kemampuan. Kualitas Pendidikan yang kurang merata di Indonesia juga turut andil dalam menyumbang ketimpangan penguasaan bahasa Inggris antar daerah. Image pelajaran bahasa Inggris yang terkesan rumit dan membosankan mungkin menjadi salah satu alasan mengapa banyak orang tidak mencapai skor TOEFL di atas 550. Bagaimanapun impresi sangat penting bagi seseorang dalam memberikan minat terhadap suatu hal. Hal ini juga berlaku pada Generasi Z yang menyumbang 27,94% dari total populasi penduduk Indonesia.
Pranala Luar:
Ling, G., Powers, D. E., & Adler, R. M. (2014). Do TOEFL iBT ® Scores Reflect Improvement in English-Language Proficiency? Extending the TOEFL iBT Validity Argument . ETS Research Report Series, 2014(1), 1–16. https://doi.org/10.1002/ets2.12007
Penulis: Vania Adhelia
Editor: Esya Charismanda P.