Alter Ego

Ilus: Rinda/bul

Akhir Desember selalu membawa banyak awan hitam, air, juga suram.

Saya tidak terlalu membenci mendung, namun bukan berarti
menyukainya. Ada terlalu banyak cucian yang harus dikeringkan sebelum hujan datang, terlebih mengingat uang di kantong yang sangat terbatas untuk sekadar membawa tumpukan baju kotor ke jasa binatu.

Gerimis jatuh ke atap asbes, menciptakan bunyi ritmis yang sedikit
mengusik ketenangan. Saya mempercepat langkah untuk melindungi diri dari basah.
“Jo.”

Seseorang memanggil saya dari ujung koridor yang menghubungkan taman dengan kamar-kamar kos. Suaranya sahut-menyahut bersama rintik hujan yang terdengar berisik.

Terhitung telah memasuki tahun ketiga sejak saya pindah dari kontrakan
sebelumnya dan semua yang ada di kos dua lantai ini sudah akrab bagi saya, dari lukisan abstrak yang digantung di aula hingga kucing belang tiga yang suka meminta makan setiap pukul lima. Saya berani bertaruh bahwa pemilik suara itu pastilah Pak Yandi–sang tukang kebun pecinta bonsai sekaligus pemilik kos ini.

Pak Yandi datang mendekat, lengkap dengan penampilan andalannya: kaos oblong lusuh, sandal selop, sarung goyor, serta rokok garpit yang tinggal setengah, mengintip dari sela-sela jari.
“Jo, ini ada paket buat kamu,” ujarnya dengan nada bersemangat khas instruktur senam pagi, “jaket kulit ya Jo, ala-ala rocker.”

Saya hanya mengangguk menanggapi sembari mengulas senyum
secukupnya. Pak Yandi menyodorkan kotak bersampul cokelat yang saya terima dengan gamang.
“Bukan punya Jovan Pak, ini punya Jonathan,” jawabku setelah membaca faktur yang tertera di bungkus paket.

Pak Yandi menghela napas panjang sebelum mengulas senyum setengah
hati dan mengangguk sedikit kaku, hanya perasaan saya saja atau memang ia sekarang menatap saya dengan pandangan sedikit kasihan.

Setelah beberapa basa-basi yang terucap, saya undur diri untuk segera
masuk ke dalam kamar yang saya rindukan.

0_0

Sudah dua hari saya lembur untuk menggarap maket, memaksa badan saya untuk menjauh dari kasur dan tidur dengan nyaman. Saya ingin segera memejamkan mata yang terasa panas dan kering karena terlampau lama menatap layar gawai.

Hanya kasur, segelas teh manis hangat, dan selimut, yang sepertinya
mampu meredakan segala lelah. Oh, dan mungkin hujan hari ini adalah berkah buat saya karena menghadirkan suasana melankolis yang sangat cocok dilewati sembari beristirahat.

Dengan satu putaran kunci, pintu membuka sedikit celah. Bau alkohol dan kuah mie menguar. Saya harap Jonathan—teman satu kamar saya tidak membuat keributan dengan mengacak kasur atau menumpahkan minuman haramnya karena hari ini saya terlalu malas untuk berdebat.

Kamar itu lebih gelap dari awan mendung di luar sana sehingga saya harus meraba dinding untuk mencari saklar lampu. Sesaat setelah bohlam 10 watt yang tergantung lima meter di atas kepala saya itu menyala, saya menangkap kekacauan yang terjadi di sana. Puluhan botol minuman keras berserakan di atas lantai, ditambah bungkus makanan ringan yang masih menyisakan isi, belum lagi bunga api dari sulutan rokok yang dibuang sembarangan meninggalkan lubang di bulu karpet dan seprai.

Saya mengacak rambut yang mulai berminyak karena sudah lama tidak
tersentuh air. Jonathan memang selalu berhasil membuat tekanan darah saya naik. Semua pertengkaran iniselalu berakhir dengan pertengkaran yang lain, yang lebih lama, dan lebih tidak melibatkan suara.

Namun, dari semua kesialan yang saya dapatkan dari orang itu, saya tidak pernah bisa meninggalkan dia, pun dia tidak akan pernah melepas saya.

Hubungan kami lebih tidak akur dari Tom and Jerry, sekaligus lebih lekat
dari pohon dan benalunya. Saya mengenalinya sama baik dengan saya mengenali garis tangan sendiri, namun dia tidak pernah merasa perlu untuk memahami saya.
“Jonathan!”

Setelah lelah menarik paksa amarah untuk keluar dari persembunyian,
dengan limbung saya mencari Jonathan yang sedari tadi tidak terlihat batang hidungnya. Saya tahu, dia tidak akan pernah keluar dari ruangan ini. Pria itu punya perangai bersosialisasi yang buruk yang tidak memungkinkannya untuk ke luar, dan bertemu orang.
“Jonathan!”

Dia di sana, berdiri dengan gamang di pojok kamar mandi bersama silet
karatan yang dipegang erat di tangan kanan. Wajahnya terlihat enggan
memandang saya. Matanya yang cekung tersembunyi oleh poni yang sudah
mencapai telinga, ada kekalutan luar biasa di balik sorot itu.

Saya mencengkeram kerah kaosnya dengan berang, Jonathan akhirnya
mengangkat kepalanya dan memperlihatkan raut wajah muak. Saya dapat
mencium bau alkohol dari embusan napasnya yang tersengal-sengal.
“Nggak tahu diri!”
“Lu nggak pantas hidup”
“Lu hanya jadi beban buat orang-orang di sekitar Lu,”
“Bisa nggak sih Lu pergi?!”

Kesadaran saya sudah menguap, emosi mengambil alih kesabaran saya,
hanya teriakan kasar yang bisa keluar.

Jonathan masih bungkam. Dia menatap saya dengan pandangan yang sulit diartikan. Setitik rasa bersalah menghinggapi saya, tapi ego saya mengatakan bahwa pecundang ini memang pantas mendapatkannya.
“Sekarang mau apa? Mau mati?”
Hanya suara tetesan air dari keran yang menjawab saya.
Saya ingin mengakhirinya, mengeluarkan seluruh rasa benci saya.
Satu kepalan tepat mengenai wajah Jonathan yang bahkan tak sempat untuk menghindar.
“Saya benci…”

Pecahan kaca melukai punggung tangan saya. Darah menetes deras. Air
mata terurai satu-satu.
“Saya benci…”

Saya di sana sendiri, basah oleh keringat dan pancuran air dari shower yang entah sejak kapan dibuka. Menatap serpihan cermin yang tercerai berai.
Saya harap Jonathan tidak datang lagi.
Saya harap Jonathan tidak mengambil alih apapun lagi.
“Saya benci kamu, Jo”.

0_0

Penulis : Vania Adhelia Kurniaputri
Editor : Ameliya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here