BERBINCANG TANPA NAMA

ilus: Tiara

Hampir setiap orang yang sibuk dengan setelan jas bak perisai melupakan kata “makan”. Bagaimana bisa ingat tentang makan, kalau lupa dengan rasa lapar. Para manusia itu terlalu sibuk di depan layar laptop sembari menjatuhkan badan ke sandaran kursi karena memang punggung mulai lelah. Asal kalian tahu, itu bukan saya. Saya benci orang seperti itu. Entah sok sibuk atau terlarut mencari materi, mereka melupakan dunia sendiri, padahal apa salahnya menikmati sepiring nasi tanpa gangguan?

Namun, ternyata tak semuanya bisa kita lihat dari diri sendiri karena kita belum sepenuhnya mengetahui tentang mereka yang selalu berperan tegas saat memakai setelan jas, tapi sebenarnya hanya sedang berusaha berperan.

~ ~

Sekitar 3 bulan, hari-hari saya selalu ditemani dengan aroma kopi, membuat kopi, dan menyajikan kopi. Di sinilah saya bekerja, kafe kopi sederhana dengan berbagai macam raut muka pelanggan. Namun, berbeda dengan pelanggan satu ini yang selalu datang pada pukul 07.20 dan pergi pada pukul 08.05. Seorang pria bertubuh tinggi yang selalu memakai setelan jas dan membawa tas jinjing tanda berangkat kerja selalu datang ketika kafe masih sepi pengunjung. Apa salahnya menikmati kopi di rumah bersama keluarga? Sebaliknya, manusia satu ini selalu datang pagi hanya untuk memesan kopi yang sama. 

“Pesan latte, Mas?”

“Tanpa latte art, ya.”

Seperti biasa, latte tanpa latte art di atasnya. Padahal, kebanyakan pelanggan ingin digambarkan latte art yang menarik. Dasar manusia aneh.

Tak hanya kopi pesanannya yang saya hafal di luar kepala, namun tempat dia duduk juga selalu sama. Karena kafe memang masih sepi, tak ada yang merebut tahtanya itu, kursi di dekat pintu masuk yang membelakangi jendela sehingga sang surya tak dapat mengenai wajahnya. Kursi itu jarang sekali diduduki oleh pelanggan karena mereka akan lebih memilih duduk  menghadap ke arah luar yang memperlihatkan pemandangan jalanan dengan lalu lalang orang-orang. Mungkin takut kepanasan.

Saya tak pernah penasaran tentang kehidupan manusia berjas. Karena yang saya tahu, hidup mereka membosankan. Walaupun begitu, dia adalah pelanggan setia yang harus dilayani selayaknya raja. Apa salahnya kan beberapa kali berbincang? Lebih tepatnya, menjawab pertanyaan yang dia lontarkan, meskipun hanya satu atau dua kalimat.

~ ~

Kali ini, pria tersebut membuat saya penasaran. Hari ini mungkin sekitar pukul 9 pagi atau lebih siang dari biasanya, dia baru datang dengan penampilan dan sikap yang berbeda.

Latte tanpa latte art, Mas?”

“Kali ini dengan latte art Mbak karena hari ini harus dibuat istimewa.”

Raut wajah saya seakan sudah memperlihatkan semua rasa penasaran. Tapi, saya tak sedekat itu hingga berani melontarkan sebuah pertanyaan. Saya hanya bisa melontarkan pertanyaan ke diri sendiri yang bahkan saya tak tahu jawabannya. “Memang apa yang istimewa dengan hari ini?”

Saya melihat pria di depan saya ini dari atas hingga bawah. Pria berjas tak lagi menggunakan jas. Secangkir latte pesanannya sudah memakai latte art, bahkan tahta yang membelakangi jendela sudah berbalik arah menghadap jalanan.

“Hari ini tepat 3 tahun, hari ketika orang paling istimewa dalam dunia saya meninggalkan bumi untuk selamanya.”

Aku tak mengerti siapa yang dimaksud dengan orang istimewa itu.

“Mungkin dia memang meninggalkan bumi, tapi dia tak pernah meninggalkan semesta di hati.”

Pria itu tersenyum.

“Mbak, hari ini saya malas sekali bekerja. Ingin di sini hingga kafe tutup.”

“Ya memang tak ada yang menuntut untuk bekerja Mas, kecuali diri sendiri. Jika memang lelah, ya istirahat.” 

“Pernah jadi pembicara, Mbak?”

“Memangnya kenapa?”

“Pintar sekali berbicara.”

“Hanya menjawab dan berbicara secara sederhana agar tak membuat bingung.”

~ ~

Saat itu, dia benar-benar berada di kafe hingga kafe tutup. Saat itu pula, dia lebih banyak bertanya dan saya yang berperan dalam menjawab. Ternyata, tak seburuk itu berbicara dengan manusia berjas yang pada saat itu sedang melepaskan jasnya.

Di antara beberapa pertanyaan yang pria tersebut lontarkan, akhirnya pertanyaan pertama dari saya telah terucap.

“Sebenarnya, pekerjaan orang berjas itu ngapain sih?”

“Menyamar.”

“Menjadi mata-mata begitu?”

“Menyamar dengan jasnya karena sebenarnya mereka semua tidak seburuk yang Mbak pikir. Namun, pada saat mereka telah memakai jas, mereka seakan lupa tentang siapa dirinya dan lebih tertarik untuk mengejar materi yang sebenarnya bukan sumber kebahagiaan.”

“Mengapa harus menyamar jika menjadi diri sendiri lebih menyenangkan?”

“Karena mimpi saya terlalu tinggi dan dingin.”

“Anda hanyalah bermimpi Tuan, namun Anda adalah mimpi orang lain. Itu yang sebenarnya terjadi.”

Pria itu tersenyum lagi. Tersenyum lega.

~ ~

Pria yang bahkan saya tak tahu namanya itu lebih banyak berbicara di hari-hari setelahnya. Anehnya lagi, dia sekarang tak pernah memakai jasnya, mungkin karena mendengarkan kata-kata yang saya lontarkan pada saat itu.

Pria itu menceritakan banyak hal, kucing di depan rumahnya yang selalu menghampiri meminta makan, jemuran yang tak kunjung kering karena hujan, atau tentang kedua orang tua yang dia rindukan. Ya, orang istimewa itu adalah kedua orang tuanya. Sesekali, dia juga bertanya tentang saya karena memang saya tak pernah menceritakan mengenai kehidupan saya. Saya terlalu nyaman mendengarkan ceritanya.

“Hobinya apa, Mbak?”

“Saya? Menulis.”

“Mengapa bekerja di sini kalau jago nulis?”

“Karena saya hanya menulis, bukan jago menulis.”

“Memang apa yang ditulis?”

“Menulis apa yang saya pikirkan dan tidak saya ungkapkan.”

“Jadi menulis lebih melegakan daripada bercerita kepada orang lain, ya?”

“Ingin diam atau mengungkapkan adalah hak pilih tiap manusia, Mas.”

“Memang jika disuruh memilih, bakal pilih yang mana?”

“Diam.”

~ ~

Memang butuh keberanian besar untuk mengungkapkan sesuatu. Diam tak selalu buruk. Diam adalah cara paling istimewa untuk mengungkapkan sesuatu yang luar biasa karena sebuah kata yang sederhana juga dapat menimbulkan kesalahpahaman jika intonasi tak sesuai yang diharapkan.

Hari itu, dia juga memberitahukan bahwa dia akan pindah kerja ke luar kota. Sedih? Ya, saya sangat sedih karena tak akan ada yang menceritakan kucing di depan rumahnya lagi. Namun, saya tidak sedekat itu untuk bisa menghalanginya. Tak perlu mengucapkan salam perpisahan karena perpisahan tak selamanya buruk.

“Jika memang alur dari kisah manusia ini berujung bersama, maka langkahnya akan selalu mendekat, Mbak.” Ucapnya seakan tahu apa yang saya pikirkan.

“Bumi terlalu luas untuk mendekatkan tokoh utama, Mas.”

“Tapi, bumi tidak pernah keluar dari jalan yang sudah dibuat.”

“Bagaimana jika kisah yang diharapkan ternyata berakhir dengan mudah?”

“Maka akan ada buku baru yang dapat dibuka kembali. Menulis kembali. Karena sejatinya, tak ada kisah yang berakhir.” Jawabnya.

“Bagaimana menulis kembali jika nama tokohnya saja tak tahu?”

Sekarang, bukan hanya dia yang tersenyum lega. Saya juga menjadi pemilik senyum itu.

Penulis: Ramada Aziizan

Editor: Ameliya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here