Paid Promote di Era New Normal

Ilus: Syifa/Bul

Memasuki pelonggaran karantina, terdapat beberapa daerah di Indonesia yang telah memutuskan untuk menerapkan maupun memulai transisi menuju new normal. Menurut Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Wiku Sasmita, new normal adalah perubahan perilaku untuk tetap melaksanakan aktivitas normal, namun ditambah dengan menerapkan protokol kesehatan guna mencegah terjadinya penularan Covid-19. Ia menambahkan bahwasanya dalam penerapan new normal, masyarakat masih harus mengurangi kontak fisik dengan orang lain, menghindari kerumunan, dan menjaga jarak sosial.

Tidak dapat dipungkiri bahwa regulasi new normal membatasi pergerakan masyarakat, termasuk mahasiswa. Walaupun karantina telah dilonggarkan, sebagian besar kepanitiaan mahasiswa masih mengalami kendala dalam mengumpulkan dana untuk melaksanakan event mereka. Berjualan offline sudah dapat dilakukan—tentunya dengan menerapkan protokol kesehatan—namun menjadi pilihan yang berisiko selagi kita dihimbau untuk menjauhi kerumunan dan mengurangi kontak fisik. Penjualan produk sepi karena jumlah pembeli tidak sebanyak saat kondisi normal. Proses sponsorship juga harus dialihkan lewat korespondensi daring sedangkan tidak semua pihak sponsor dapat dihubungi via internet. Terdapat juga pihak sponsor yang kurang berkenan memberikan bantuan tunai karena omset yang menurun sebagai dampak pandemi.

Saat dihadapkan dengan kondisi seperti ini, sebagian besar kepanitiaan beralih untuk mencari dana secara online. Salah satu caranya adalah melalui paid promote atau jasa layanan promosi. Jasa ini berupa pemasangan iklan berbayar secara serempak di akun media sosial setiap anggota. Iklan yang dipasang dapat berupa promosi online shop, produk makanan atau minuman, baju, kosmetik, dan lain sebagainya. Iklan tersebut biasanya akan dihapus setelah batas waktu yang telah ditentukan. Kehadiran paid promote di media sosial sebenarnya sudah lazim ditemukan sejak dulu, tetapi jumlahnya meningkat belakangan ini. Paid promote dianggap sebagai alternatif terbaik untuk mencari dana online karena bersifat praktis, tidak memakan banyak modal, serta tidak berisiko rugi besar.

Ketika makin banyak kepanitiaan beralih ke paid promote, makin sempit pula ruang bernafas bagi para pengguna media sosial. Promosi yang memenuhi lini masa kerap menghalangi akses pengguna ke konten yang benar-benar ingin mereka konsumsi. Selain bertebaran di lini masa, promosi serupa juga siap menghadang di segmen story akun-akun yang kita ikuti. Sebagian orang merasa baik-baik saja dengan hal ini, namun tidak memungkiri adanya sebagian yang menjadi enggan beraktivitas di media sosial untuk menghindari konten yang tidak relevan.

Perlu diakui bahwa paid promote tidak sepenuhnya bersifat merugikan. Paid promote dapat menjembatani akses konsumen ke pasar produk serta memberi kesempatan pada penjual untuk memperluas jangkauan audiens mereka. Ada pula yang menawarkan seminar-seminar gratis atau kelas online yang dapat mengasah kemampuan kita. Tetapi dilihat dari sisi lain, terdapat juga jenis paid promote yang tidak jauh berbeda dengan konten spam. Bukan sebagai generalisasi, tetapi faktanya terdapat oknum kepanitiaan yang tidak menerapkan regulasi ketat untuk menyaring konten yang akan diunggah. Mereka bisa mempromosikan semua jenis produk tanpa pandang bulu demi memperoleh keuntungan. Contohnya dapat dilihat di akun-akun yang mempromosikan produk abu-abu tanpa integritas seperti obat pelangsing dan pemutih tanpa lisensi BPOM.

Namun kembali lagi, media sosial adalah ruang bebas. Kita tidak bisa melarang orang lain untuk mem-posting konten yang tidak senada dengan selera kita. Setiap pemilik akun memiliki kebebasan untuk memanfaatkan platform mereka sekreatif mungkin; termasuk dengan melakukan paid promote. Secara teknis, keberadaan paid promote bukanlah sesuatu yang bisa dipermasalahkan—dan kita tidak memiliki kewenangan untuk menghentikannya.

Untungnya, sebagai sesama pengguna media sosial, kita juga memiliki hak untuk menyaring konten yang ingin kita lihat. Dengan fitur block, unfollow, atau mute, kita bisa saja memilih untuk berhenti menerima update dari akun yang kita anggap menyampah. Sangat mudah, bukan? Tetapi, aksi membisukan atau berhenti mengikuti akun yang sedang melakukan paid promote menempatkan kita dalam sebuah dilema baru. Bagaimana jika kita ketinggalan update dari mereka? Bagaimana kalau teman-teman kita tersinggung jika kita ketahuan membisukan akun mereka?

Mengkritik paid promote sebagai mahasiswa bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan—terutama karena kita sadar bahwa posisi pengkritik dan objek kritik bisa saja tertukar suatu saat nanti. Ada baiknya kita saling memaklumi bahwa mencari dana di era new normal memang sulit. Namun, jika suatu saat giliran kita untuk melakukan paid promote datang, perlu dipahami bahwa tidak ada jaminan semua pengikut kita dapat bersikap toleran terhadap paid promote. Hal ini adalah alasan yang valid bagi mereka untuk memblokir atau berhenti mengikuti akun media sosial kita. Kita tidak bisa menyalahkan siapa-siapa jika ini benar-benar terjadi.

Maka, ada baiknya bila paid promote dilakukan dengan hati-hati dan penuh pertimbangan. Terapkanlah peraturan untuk menyaring konten promosi serta hormatilah pilihan orang-orang yang ingin menikmati akses media sosial tanpa gangguan. Sebagai saran tambahan, paid promote juga bisa dilakukan dengan second account untuk meminimalisir gangguan bagi orang lain. Perlu dipertimbangkan bahwa isi akun media sosial kita ikut andil dalam membentuk persepsi orang terhadap kita. Apakah kita akan membiarkan kepanitiaan mendefinisikan online presence kita di era new normal?

Penulis: Nazra Hanif Lutfiana/Bul
Editor: Marcellinus Aldyawan Kurnianto/Bul

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here