Mengalah Bukan Berarti Kalah

Source: google

Judul   : Di Kaki Bukit Cibalak

Penulis : Ahmad Tohari

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama

Tebal   : 170 Halaman

ISBN   : 978-602-03-0513-4

Pernahkah kita merasa tidak adil atas perlakuan seseorang terhadap kita? Di dalam hati rasanya kita sangat ingin membalas, tetapi terkadang keadaan tak memungkinkan. Akhirnya, mengalah menjadi jalan pilihan, walaupun dalam hati tetap ada perasaan tidak terima. Atau pernahkah terpikirkan bagaimana praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme terjadi di pedesaan? Kadang kita terlalu fokus pada kasus yang dilakukan petinggi besar dan melupakan bahwa kecurangan serupa juga banyak terjadi di ranah kecil seperti pedesaan. Bukankah kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme, baik yang dilakukan oleh petinggi besar maupun petinggi kecil, sama-sama merugikan rakyat? Ahmad Tohari melalui novelnya yang berjudul “Di Kaki Bukit Cibalak” menggambarkan praktik-praktik korupsi lurah Desa Tanggir, sebuah desa terpencil di kaki Bukit Cibalak yang merugikan rakyatnya. Menjadi semakin menarik, karena novel ini tidak menjadikan sang lurah menjadi tokoh utamanya, melainkan lebih menyoroti perjalanan Pambudi, anak muda Tanggir dalam membongkar korupsi lurahnya  yang juga memfitnah dirinya.

Harapan warga Tanggir akan terpilihnya lurah yang tidak akan menjual sapi-sapi desa dan tidak memungut iuran tinggi sirna sudah. Pak Dirga terpilih. Hampir semua orang tahu ia bukan orang baik, tetapi nyatanya amplop-amplop yang dibagikan sebelum fajar muncul membuatnya menjadi lurah baru di Tanggir. Pambudi yang merupakan pengurus lumbung padi desa kecewa karena belum genap seminggu menjadi lurah, Pak Dirga sudah menjadi “tikus” di lumbung padi desa. Puncak kekecewaannya terjadi ketika Mbok Ralem ingin meminjam beras di lumbung padi desa untuk berobat, tetapi ditolak oleh Pak Dirga. Merasa tak sejalan dengan tindakan lurahnya, ia memilih pergi dari desa. Pambudi kemudian membantu Mbok Ralem yang ternyata mengidap kanker getah bening dan harus dioperasi di Yogyakarta, kota yang cukup jauh dari Tanggir. Ia lantas menggalang dana lewat surat kabar Kalawarta. Hal tersebut membuat kekesalan Pak Dirga memuncak karena dengan tersebarnya penggalangan dana untuk Mbok Ralem, ia ditegur Bupati karena dianggap menelantarkan warganya. Pak Dirga lantas membuat perhitungan terhadap Pambudi dengan memfitnah bahwa Pambudilah yang membawa kabur uang lumbung desa. Dari sinilah perjalanan panjang Pambudi dimulai.

Seberkas kisah dengan latar era tahun delapan puluhan digarap dengan sangat apik oleh Ahmad Tohari. Ketika membaca novel ini, saya seolah sedang merasakan langsung keadaan sosial pada masa itu. Kemiskinan, tingginya kepercayaan masyarakat tentang praktik perdukunan, buruknya sistem pemerintahan desa, dan banyaknya praktik korupsi, kolusi serta nepotisme dituliskan dengan emosi yang dinamik. Rasa-rasanya, apa yang dikisahkan pada novel ini tentang “tikus” pemerintahan tak jauh berbeda dengan keadaan sekarang. Semua sama, seolah sedang berlomba-lomba menggerogoti hak-hak rakyat tanpa rasa bersalah secuilpun, memakan uang pembangunan infrastruktur yang seharusnya bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat. Politik uang juga tak ubahnya masih sama seperti dahulu. Sudah menjadi rahasia umum  bahwa masih banyak orang yang ingin menduduki posisi tinggi di pemerintahan dengan cara picik. Salah satu caranya adalah dengan menggelontorkan uang guna membungkam hak nurani masyarakat agar mau memilihnya. Setelah terpilih, merasa perlu untuk mengembalikan uang yang telah digelontorkan begitu besar pada kontestasi, lantas uang negara dan uang proyek pun dikeruk.

 Kemiskinan juga digambarkan secara apik oleh Ahmad Tohari lewat keadaan tokoh-tokoh seperti Mbok Ralem dan anak-anaknya tanpa kesan dibuat-buat. Alur cerita menjadi sangat menarik karena sulit untuk ditebak. Bumbu-bumbu romansa percintaan tak absen mengisi kisah ini sehingga cerita lebih hidup. Ahmad Tohari juga sangat lihai dalam menuliskan keadaan alam, sehingga pembaca seolah diseret untuk merasakan keadaan alam wilayah Desa Tanggir dan sekitarnya. Bagi orang Banyumas seperti saya, tentu gampang untuk menebak wilayah mana yang sedang digambarkan oleh Ahmad Tohari dalam beberapa bagian. Ketika membaca kalimat-kalimat tentang latar tempat di novel ini, saya merasa “pulang”.

Namun, pemilihan kata dalam beberapa bagian konflik kurang terasa emosional, sehingga terkesan kurang greget. Contohnya seperti bagian Sanis yang diminta menjadi istri ketiga oleh Lurah Dirga dan kekecewaan Bu Lurah yang dimadu. Mungkin penulis sengaja tidak membuat bagian konflik terlalu emosional untuk memunculkan kesan “mengalah” lebih dalam. Pada beberapa bagian cerita juga terdapat tindakan-tindakan tokoh yang kurang dijelaskan secara menyeluruh alasannya. Akhirnya, beberapa kali tertinggal pertanyaan-pertanyaan menggantung.

Secara keseluruhan, novel ini sangat bagus. Setelah rampung membaca novel ini saya menjadi berpikir lebih jauh akan hidup dan lebih berpikir perihal menjadi manusia yang manusia. Sosok Pambudi menjadi tokoh inspirasi baru bagi saya. Meskipun bukan tokoh sungguhan dalam dunia nyata, namun Pambudi terasa sangat hidup dalam pandangan saya. Agaknya memang kemampuan Ahmad Tohari dalam menulis memang sudah tak bisa diragukan lagi. Banyak pelajaran yang dapat diambil ketika membaca novel ini, di antaranya mengenai pentingnya pendidikan. Lewat kisah Pambudi, pembaca akan ikut tersadarkan bahwa meski dengan keadaan sosial yang kurang memadai pun, pendidikan tetap harus diupayakan. Keputusan Pambudi untuk meninggalkan Tanggir dan melanjutkan kuliah menjadi sangat tepat. Andai Pambudi tidak menuruti akal rasionalnya dan terlalu menuruti ego untuk langsung membalaskan dendam kepada lurahnya kala itu, cerita tidak akan semenarik ini. Novel ini mengajarkan hal penting bahwa mengalah bukan berarti kalah. Pambudi meninggalkan Tanggir bukan karena guna-guna yang dilakukan oleh Pak Dirga, melainkan karena Pambudi merasa  mengingat ia tak bisa berbuat lebih jika terus berada di Tanggir . Dengan Pambudi meninggalkan Tanggir, ternyata ia mendapat banyak hal baik tak terduga. Pambudi yang merelakan Sanis—kekasihnya di Tanggir—menjadi istri ketiga Lurah Dirga juga menjadi langkah tepat karena dengan itu ia tahu bahwa Sanis tidak benar-benar tulus. Dari sini pembaca akan dibisikkan untuk menjadi seseorang seperti Pambudi, yang tak hanya cerdas namun juga memiliki sisi kemanusiaan yang tinggi seperti saat membantu Mbok Ralem. 

“Terkadang kita ingin mengenakan baju besi, memanggul tombak, dan menantang musuh. Tetapi ingat! Hanya Arjuna kecil yang dapat mengalahkan Nirwatakawaca yang raksasa.” -Ahmad Tohari dalam novelnya yang berjudul Di Kaki Bukit Cibalak

Penulis: Frastiwi Widya/Bul
Editor: M. H. Radifan/Bul

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here