Android, Penguasa Dunia Dekade Ini (?)

Jutaan orang tidak menyadari bahwa mereka merupakan bagian dari komunitas dengan pertumbuhan populasi terbesar dalam satu dekade terakhir. Penulis bukan sedang membahas tentang Binomo, melainkan mengenai komunitas pengguna Android. Tentunya, sebagian besar dari kita sedang atau pernah menggunakan perangkat dengan sistem operasi ini. Satu dekade sejak HTC Dream (ponsel Android pertama) tersedia bebas di pasar, sistem operasi milik Google ini telah menguasai worldwide market share sistem operasi ponsel dengan persentase sebesar 75,56 persen (dilansir dari StatCounter, data Q4 2019). Bukan hanya itu, bila digabungkan dengan komputer, tablet, dan konsol, Android masih menjadi penguasa pasar dengan persentase 40,71 persen pasar.

Dalam konferensi Google I/O pada Mei 2019, Google menyatakan bahwa telah ada lebih dari 2,5 miliar perangkat Android aktif di dunia. Jika dirata-rata, satu dari tiga penduduk dunia menjadi pengguna sistem operasi Android. Karena angka ini didapatkan dari data Google Play Store, jumlah tersebut belum meliputi perangkat Android tanpa dukungan Play Store maupun Google Mobile Service, misalnya Fire OS milik Amazon dan sebagian besar perangkat Android di pasar domestik Tiongkok.

Kunci pertumbuhan Android

Bagaimana Android bisa bertumbuh sebesar itu hanya dalam satu dekade? Hal pertama yang menjadi kunci adalah Android muncul dengan terobosan penting, yaitu sistem operasi yang lebih intuitif dengan berbasis layar sentuh yang belum umum pada masa itu. Meskipun begitu, Android bukanlah sistem operasi pertama yang berbasis layar sentuh. Ponsel-ponsel, seperti iPhone dan LG Prada, telah hadir lebih dahulu.

Kepopuleran ini juga ditopang oleh keragaman banderol harga perangkatnya. Saat ini, ponsel Android dapat ditemui dalam berbagai rentang harga, mulai dari ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah. Fakta tersebut membuat perangkat Android dapat dijangkau oleh berbagai kalangan, berbeda dari kompetitor utamanya —iOS milik Apple— yang hanya mengincar pasar segmented di kelas harga tinggi (harga resmi terendah seri iPhone 11 saat diluncurkan adalah 13 juta rupiah kembali seribu).

Pembeda lain antara Android dan sistem operasi lain adalah keterbukaannya. Kernel berbasis Linuxnya bersifat open source, artinya semua orang bebas untuk menggunakan dan mengutak-atik antarmuka pengguna (user interface) Android. Oleh sebab itu, tiap perangkat Android dapat memiliki karakteristik yang berbeda dan unik tergantung kustomisasi dari manufaktur maupun pengguna, misalnya saja MIUI dari Xiaomi atau ColorOS milik OPPO.  Hal ini berbeda dengan sistem operasi lain seperti iOS atau Windows Phone (WP) yang relatif seragam. Selain keunikan user interface, sifat open source ini juga membuat penyediaan dan pengembangan aplikasi Android dapat berjalan dengan sangat progresif.

Google Mobile Service (GMS), senjata utama Android

Dengan sifatnya yang open source, dari mana Google mendapatkan uang? Jawabannya sudah sempat disinggung sebelumnya, yaitu dengan Google Mobile Service atau GMS. GMS merupakan layanan yang menopang aplikasi buatan Google, seperti Google Play Store, Google Maps, Gmail, YouTube, bahkan layanan pembaruan perangkat lunak secara otomatis dan mudah via over-the-air. Berbagai fitur dasar seperti membalas pesan melalui notifikasi juga merupakan bagian dari Play Service GMS. Layanan ini tidak termasuk dalam paket Android yang open source, tetapi tersedia melalui lisensi berbayar dari Google (kecuali diutak-atik secara ilegal). Mengingat GMS sangat berperan penting untuk menunjang aplikasi dan kinerja perangkat secara keseluruhan, tentunya manufaktur ponsel Android akan berusaha menyertakan lisensi GMS dalam setiap perangkat yang dijualnya. Dengan ratusan juta perangkat yang terjual setiap tahunnya, bayangkan saja seberapa besar pendapatan Google dari lisensi.

Selain itu, operasional GMS juga mendulang banyak uang. Sebagai contoh, Google mendapat bagian 30 persen dari revenue pembelian aplikasi berbayar dan in-app purchase (IAP). Selain itu, developer aplikasi juga perlu “membeli” akses Google Play seharga US$25.

Saking pentingnya GMS bagi pengguna, sistem operasi lain tidak berkutik ketika tidak memiliki aplikasi dan layanan milik Google, bahkan WP –yang notabene dimiliki perusahaan sekaliber Microsoft—akhirnya gulung tikar karena gagal bersaing. Ketika diluncurkan, WP dianggap sebagai sistem operasi yang lebih revolusioner dibandingkan dengan Android maupun iOS. Akan tetapi, keterbatasan dalam penyediaan dam pengembangan aplikasi, serta tidak tersedianya aplikasi dari Google membuat WP punah. Siapa sih yang mau kehilangan aplikasi populer seperti YouTube dan Instagram sekaligus dipaksa memakai mesin pencari Bing, alih-alih Google?

Tidak hanya lawan-lawannya, tetapi perangkat Android juga merasakan besarnya pengaruh dari GMS. Kasus ponsel Huawei Mate 30 dan Mate 30 Pro adalah contoh terkini. Buntut dari perseteruan Amerika Serikat (AS) dengan Tiongkok, Donald Trump sempat melarang perusahaan AS –termasuk Google—untuk berdagang dengan Huawei.  Oleh sebab itu, lisensi GMS tidak lagi tersedia bagi ponsel Huawei yang dirilis pada masa pemberlakuan larangan itu, seperti seri Mate 30. Meskipun Huawei menyediakan layanan pengganti, fungsionalitasnya masih sangat tertinggal dari GMS.

Kedua ponsel tersebut memang tetap bersistem operasi Android dan aplikasi pihak ketiga dapat dipasang via APK, namun banyak tech-reviewer maupun pengguna merasa seri Mate 30 tidak worth it karena ketiadaan GMS. Selain kehilangan fungsi aplikasi buatan Google, Mate 30 juga tidak dapat menjalankan berbagai layanan berbasis GMS, mulai dari IAP aplikasi hingga layanan lokasi Google Maps yang dibutuhkan oleh aplikasi ride sharing, seperti Go-Jek dan Grab. Kelemahan fatal itu menutupi kelebihan seri Mate 30 dari segi performa perangkat dan bisa dikatakan kurang berhasil di pasar global.

Kekuatan besar, pengaruh besar

Dominasi, popularitas, dan ketergantungan pengguna terhadap Android dan GMS merupakan kunci Google untuk menguasai dunia teknologi secara worldwide melalui Android hanya dalam satu dekade.  Mengingat dunia teknologi sangat memengaruhi berbagai aspek kehidupan, maka kekuatan yang dimilikinya tentu saja tidak main-main.

Dengan kontrol atas teknologi yang digunakan di berbagai belahan dunia, Google tidak hanya memegang cuan penjualan perangkat dan biaya layanan, tetapi juga menggenggam data miliaran pengguna yang berharga dan berpengaruh besar dalam ketergantungan publik terhadap Android dan GMS. Oleh sebab itu, rasanya sebutan “penguasa dunia” tidak hanya layak disematkan kepada negara adidaya seperti AS, tetapi juga korporasi swasta seperti Alphabet (perusahaan induk Google).

Hmm, tunggu sebentar. Jika Alphabet adalah perusahaan AS yang tunduk kepada regulasinya, apakah itu artinya AS memang satu-satunya entitas yang berhak disebut “penguasa dunia”?

https://gs.statcounter.com/os-market-share#quarterly-201904-201904-bar
https://www.androidcentral.com/what-gms-and-why-does-my-phone-need-it
https://www.theverge.com/2017/10/10/16452162/windows-phone-history-glorious-failure
https://www.theverge.com/2019/5/7/18528297/google-io-2019-android-devices-play-store-total-number-statistic-keynote

image: Freepik.com

Penulis : Rafie Mohammad

Penyunting : Tri Meilani Ameliya

Glosarium

Kernel: program yang merupakan inti dari suatu sistem operasi

Antarmuka pengguna (UI: user interface): tampilan grafis yang menjadi media interaksi antara pengguna dengan sistem operasi

Over-the-air: metode distribusi pembaruan perangkat lunak (software update)

In-app purchase: pembelian layanan atau konten tambahan dalam aplikasi tertentu, misalnya aplikasi versi Premium, layanan berlangganan (subscription), remove ads, dan item serta virtual currency dalam games

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here