APAKAH INDONESIA (MASIH) MEMBUTUHKAN FEMINISME?

FEMINISME
Ilus : Devina/Bul

Feminisme lebih dari sekadar paham. Feminisme adalah sudut pandang baru yang menjadi titik cerah perempuan untuk menemukan keadilan. Namun, keadilan disini perlu ditelisik lebih jauh lagi. Gerakan anti feminisme yang hangat diperbincangkan beberapa waktu lalu menyadarkan kita seberapa paham kita terhadap feminisme dan masalah yang hanya dienyam oleh perempuan. Bagaimana sebenarnya feminisme itu? seberapa pentingkah hak perempuan? bagaimana feminisme memandang dunia patriaki?

April adalah bulan istimewa bagi perempuan Indonesia. Tokoh pejuang hak-hak perempuan yaitu Raden Ajeng Kartini, meminjamkan tanggal lahirnya sebagai penanda bahwa hak perempuan perlu dipertanyaankan dari waktu ke waktu. Perjuangan Kartini yang panjang dituliskan dalam surat-surat yang ia kirimkan kepada teman penanya. Perjuangan itu, kemudian dikenal sebagai emansipasi yang secara garis besar dilingkupi sudut pandang baru berupa feminisme. Emansipasi dan feminisme dimaknai dengan banyak kata yang saling bertentangan. Walaupun begitu, feminisme merupakan ekspresi dari jirih payah untuk menguatkan emansipasi. Akan tetapi, akhir-akhir ini muncul gerakan bernama Indonesia Tanpa Feminisme. Dalam gerakan tersebut, feminisme dipandang tidak krusial untuk diterapkan di Indonesia karena beberapa penyebab. Gerakan Indonesia Tanpa Feminisme dikampanyekan dalam berbagai bentuk. Bentuk yang paling dirasa menyambar perhatian masyarakat Indonesia terdapat di media sosial, Instagram. Bukan persoalan salah atau benar, setiap perbedaan dilahirkan atas dasar keinginan berdialog satu sama lain. Dialog yang diciptakan dapat berujung pada tujuan perbedaan itu, yaitu saling memahami.

Feminisme itu Luas

Feminisme memiliki artian yang sangat luas. Secara maknawi, pengertian tersebut kemudian diserap dan dipahami oleh kebanyakan orang. Hanya saja, untuk pengertian yang lebih konkret dan jelas belum dapat dipastikan.Dr. Suzie Handajani, dosen Antropologi UGM yang berfokus mengenai media, pop culture, dan gender, memberikan alternatif definisi feminisme.

“sama dengan –isme yang lain, feminisme merupakan sudut pandang dimana ada kondisi untuk memahami kondisi tersebut. Dalam sejarah manapun perempuan selalu menjadi subkoordinasi di dalamnya. Dari hal tersebut muncullah pikiran untuk menghadirkan sudut pandang supaya perempuan ini dalam kedudukan sama”

Feminisme merupakan sebuah konsep yang memiliki tingkatan penyerapan yang berbeda bagi setiap orang. Oleh karena keberagaman tersebut, kemungkinan feminisme untuk bergeser pada setiap era lebih besar terjadi. Pemaknaan konsep yang berbeda dapat menjadi penyebab gelombang pemaknaan feminisme dari satu orang ke orang lain menjadi dari satu kelompok ke kelompok yang lain.

Sayangnya terdapat sekelompok yang memaknai feminisme secara radikal dan membuat feminisme dilabeli oleh kelompok yang lain sebagai bentuk pemberontakan dan jauh dari kodrat perempuan yang seharusnya. Namun perlu dipahami bahwa kegiatan feminisme yang radikal bukan representasi dari gerakan feminisme secara umum. Mereka menuntut lebih dari sekedar kesetaraan namun sebuah dominasi yang harus dimiliki perempuan.

Hak Perempuan dan HAM

Perempuan pun manusia. Manusia memiliki hak konkret yang melekat pada dirinya semenjak dilahirkan ke bumi. Hak itu disebut hak asasi manusia. Berbicara mengenai hak perempuan tidaklahsama dengan hak asasi manusia yang sudah lama terkandung di dalam diri. Jika memang harusnya disamakan, lantas kasus-kasus pemerkosaan dan kekerasan seksual nyatanya lebih banyak mengincar kaum perempuan. Jika memang harusnya disamakan, seharusnya pemerkosa dan pelaku kekerasan seksual tidak boleh pandang bulu menilai gender korbannya. Jika harus disamakan, seharusnya perempuan dibolehkan memimpin suatu negara tanpa ragu. Tidak hanya itu, HAM lebih bersifat umum sehingga kurang adanya kemantapan untuk hak perempuan dileburkan disana. “justru ketika mereka bilang mengenai hak asasi manusia itu, hak perempuan menjadi tertutup,”tutur Suzie.

Persoalan kesetaraan gender ini semakin dipertanyakan dari waktu ke waktu. Tidak mudah memperjuangkan diri sebagai perempuan untuk dapat diakui dan diyakini setara dengan gender lain. Anti feminisme sendiri didasarkan pada pandangan mengenai hak perempuan yang tidak usah dipertanyakan lagi karena sudah diatur oleh agama ataupun pemerintah. Hanya saja, jika hal itu benar terjadi, maka seharusnya perempuan yang berkualitas tidak dihalang jalannya sebagai seorang pemimpin. Maka dari itu, perlu kejelasan lebih lanjut hak perempuan dalam hak asasi manusia.

Komunitas Femjogja, yang sudah dua tahun ini tanggap akan isu perempuan dan feminisme juga beranggapan bahwa tidak semua perempuan mempunyai kesempatan yang sama dan mudah dalam mencapai kesetaraan. “Nyatanya kita berada di masyarakat yang beragam dan tidak bisa memukul rata dalam satu landasan untuk semua orang. Mereka (kelompok antifemisime) menganggap wanita saat ini baik-baik saja. Sehingga ketika mereka tidak merasakan ketidakadilan itu sebuah privilege bukan berarti orang lain tidak merasakan” ujar Priscillia, salah satu anggota Femjogja.

Feminisme Memandang Patriarki

Feminisme hadir sebagai respon halus dari patriarki. Patriarki merupakan penyebab utama hadirnya feminisme pada pemikiran-pemikiran perempuan. Patriarki didefinisikan sebagai garis lurus vertikal di mana ujung garis tersebut ditempati oleh gender maskulin atau laki-laki. Sehingga, segala sesuatunya harus mendapat izin dari laki-laki yang bekuasa terlebih dahulu. Menanggapi patriaki dalam feminis, komunitas pegiat feminisme di Jogjakarta bernama Femjog memberikan keterangannya.

“Kita nggak bisa menafikan karena patriarki akan susah hilang. Makanya muncul feminisme radikal untuk mendominasi hal tersebut. Perempuan juga punya peran yang besar, dalam sejarah, diketahui bahwa laki-laki berburu. Namun, sudah dikaji perempuanlah yang mengelola segalanya. Menjadi setara bukan berarti perempuan harus berburu juga namun lebih kepada apakah kita dapat tempat yang sama untuk memperjuangkan sesuatu,” tutur Priscillia.

Patriarki dianggap selalu berkoalisi dengan sistem kapitalisme. Sistem yang dianggap bergabung tersebut dianggap merugikan. Kapitalisme dipandang mendapat keuntungan dari seks diskriminasi melalui upah buruh atau pekerja yang murah. Tidak hanya perempuan, bahkan laki-laki pun bisa tertindas oleh sistem kapitalisme. Selanjutnya, perwakilan Femjog ini menambahkan bahwa tidak semua laki-laki itu patriarkis dan tidak semua perempuan itu feminis.

Feminisme di Indonesia

Feminisme di Indonesia melibatkan nama Kartini sebagai pencetus gerakan emansipasi pada masanya. Kartini yang merasa bahwa perempuan bukan hanya sekadar objek pingitan yang tidak layak bersekolah lebih tinggi, lantas mencurahkan segala perasaan dan kegelisahannya kepada teman penanya. Habis Gelap Terbitlah Terang merupakan jembatan untuk memahami pemikiran dan kegelisahaan Kartini pada masa itu. Setiap tulisan Kartini menyampaikan maksud kritis yang akhirnya dapat membuka pemikiran orang-orang, terutama kaum perempuan. Feminisme di Indonesia bukan saja persoalan paham yang terlalu menjunjung tinggi kesetaraan gender. Feminisme berkutat pada suatu sudut pandang di mana emansipasi dijadikan sebagai tujuan khususnya. Tidak menutup kemungkinan, emansipasi dan feminisime dapat saling menyokong satu sama lain. Hal yang jelas adalah keduanya menuntut keseteraan dan keadilan gender.

“Standar jelas sudah bergeser. Dari segi pendidikan, standar pingit waktu sekolah dasar Kartini telah bergeser ke S1, misalnya. Hal ini akan bergeser ke jenjang yang lebih lanjut. Standar yang dulu tidak bisa dipakai lagi sekarang. Hal itu menimbulkan tantangan baru yang melahirkan pemikiran-pemikiran baru,” tutur Suzie.

Anti feminisme yang sedang hangat terdengar saat ini dirasa sebagai kurang pahamnya mereka dalam memaknai feminisme. Perwakilan dari Femjog mengutarakan adanya indikasi ketidakpahaman tersebut. Sehingga, perlu diskusi lebih lanjut untuk menemukan titik luluh dari kedua sudut pandang ini.

Perempuan bukanlah penghalang untuk kemajuan suatu bangsa. Perempuan bukan hanya sekadar pendukung. Perempuan hadir tidak hanya sebagai pelengkap laki-laki. Perempuan berhak hidup, berhak menghidupi, dan berhak menghidupkan hidupnya sendiri atau hidup orang lain disekitarnya. Feminisme di Indonesia hadir sebagai pengejar kesetaraan itu.

Masa Depan Feminisme di Indonesia

Sebagai negara yang mengakui kuasa Tuhan—tertera dalam sila pertama Pancasila,—Indonesia diharapkan menjadi bangsa yang memegang nilai religius dalam setiap aspek kehidupan. Islam adalah agama yang mayoritas dianut oleh rakyat negara ini. Bukan persoalan mudah, ketika Islam dijadikan sebagai alasan utama persoalan anti feminisme di negeri ini. Sebab, kaum anti feminisme memandang bahwa feminisme hanya terpengaruh oleh “barat” dan tidak sejalur dengan nilai-nilai Islam. Mereka—para pegiatanti feminisme— mengklaim bahwa sebagai negara yang mayoritas Islam, tidaklah patut meniru kebiasaan barat. Dalam kampanyenya di Instagram, para pemegang pandangan kontra ini juga mengatakan bahwa gaya kebaratan yang begitu sekuler dan bebas tidak bisa diterapkan dalam Islam. Padahal, pandangan mereka tidak semuanya benar.

“intinya (menurut anti feminisme) yang dari barat itu liberal atau buruk. Padahal bunga bank berasal dari barat,” tutur Mirza, Kepala Departemen Kajian Strategis Jamaah Salahudin.

Mirza tidak hanya mengada-ada. Terbukti dari ucapan Suzie yang juga menarik garis yang tidak terhubung itu menjadi sejajar. Menurutnya, pada era modern seperti ini, secara tidak langsung semua hal berasal dari barat. Bahkan, buku-buku pembelajaran perkuliahan misalnya, bersumber dari tulisan berbahasa inggris yang sudah bisa ditebak asalnya. Mempermasalahan dua hal yang seharusnya tidak untuk dikontradiktifkan tentu hanya akan membuahkan kebingungan semata. Kecuali, jika permasalahan tersebut dibawa dalam lingkup diskusi yang mumpuni untuk disejajarkan tanpa perlu mengorbankan satu sama lain. Hanya saja, menurut perwakilan Femjog, diskusi yang pernah diusahakan tidak direspon oleh akun Indonesia Tanpa Feminis. Menurut Femjog pula, keberadaan pengikut anti feminisme ini justru dapat menjadi kritik sosial bagi para feminis.

“jadi sebenarnya bagus-bagus aja namun caranya yang mungkin jadi penting bagi kita. Bagaimana cara mereka menyampaikan kritiknya yang lebih baik dilakukan dengan cara-cara yang lebih tepat, seperti diskusi” ujar Priscillia.

Dilontarkan oleh Mirza, bahwa Islam dan feminisme tidak dapat dipertentangkan begitu saja. Keduanya memiliki jalan dan sudut pandang tersendiri. Beberapa kajian mengenai feminisme berhasil menemukan jalan tengah mengenai islam dan feminisme. Namun, jawaban yang patut dipertimbangkan sebagai jalan tengah itu tidak mendapat respon yang baik. Menurut Suzie, perempuan-perempuan yang mengikuti gerakan anti feminisme ini secara tidak langsung sudah memakai feminisme itu sendiri. Menurutnya, perbedaan bukanlah hal yang digunakan untuk mempersenjatai perpecahan. Perbedaan itu hadir untuk menjadi jembatan berdiskusi antar manusia.

Penulis:  Bunga R, Hafis V, Nada K, Lestari K/Bul
Penyunting: Aulia H./Bul

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here