Bohemian Rhapsody: Tentang Kesepian dan Gelap Gemerlap Rock Star

Sumber: foxmovie.com

“Aku tidak tahu, ketika aku berada di atas panggung, rasanya suaraku tidak bisa fals” –Freddie Mercury

Bohemian Rhapsody, sebuah film yang ‘katanya’ mengulik perjalanan band Rock asal Britania Raya, Queen. Tentang perjalanan band yang awalnya merupakan band kampus menjadi legenda band Rock dunia pada era 80-an. Namun tidak, jika kalian mengharapkan itu, film ini bukan tempatnya. Perjalanan band Queen bukan kunci utama keberhasilan film ini. Perjalanan Queen merupakan seolah menjadi ruang untuk mengisahkan Freddie Mercury, sang vokalis. Film dengan latar belakang tahun 80-an ini pun berhasil membuat nostalgia indah dengan lagu popular milik Queen, di antaranya “Don’t stop me now”, “We will Rock You” sampai “We are The Champion”.

Hampir sebagian besar dari nyawa film ini terletak pada Freddie Mercury yang diperankan oleh Rami Malek. Penggambaran kepribadian Freddie, yang nama kecilnya Farrokh Bulsara tidak timpang. Freddie digambarkan sebagai orang yang tak pernah main-main dalam hal bermusik.  Pribadi dirinya yang sangat atraktif di atas panggung, tentang rasa percaya diri yang membuat dirinya begitu yakin bahwa saat itu, Roger Taylor dan Brian May akan sudi menerima dirinya sebagai pengganti vokalis lama mereka yang mengundurkan diri, serta ide-ide liar di kepalanya soal musik. Tentu, ide liar itu dikeluarkan dengan indahnya dalam kepribadian Freddie yang cenderung nekat. Di luar panggung, Fred digambarkan sebagai orang yang sangat tertutup, tak mau diusik kehidupan pribadinya, cenderung membohongi publik soal kehidupan pribadinya, orientasi seksualnya, hingga penyakit yang menyebabkan kematiannya. Baginya, hidupnya adalah dirinya sendiri. Bukan soal pertemanan maupun keluarga.

Di sisi lain, Fred sangat rapuh. Batinnya lemah, dirinya kesepian. Dalam dirinya, tidak ia dapati tiang penyangga yang siap menyokongnya saat dirinya terjatuh. Perempuan yang ia cintai, Mary, meninggalkan dirinya saat Ia menyadari, dia seorang homoseksual. Serangkaian tur dan album membuat dirinya semakin buruk, tak lain, karena ia harus berbohong kepada dirinya: kala dirinya yang harus tampil atraktif dikala dirinya merasa rapuh, menjawab pertanyaan wartawan soal hal pribadinya saat konferensi pers yang pada akhirnya membuat ia semakin merasakan kekosongan-kekosongan dalam batinnya..

Kelemahan ini menghantarkan Fred ke sifat aslinya: egois. Dirinya memutuskan untuk keluar dari Queen dan mencoba solo karier. Rupanya, solo karier ini yang membawa dirinya jauh, terjatuh di dalam lubang yang dalam. Menghantarkannya kepada pergaulan yang tak sehat, pesta dan minum minuman keras setiap hari, bekerja setiap waktu dan berganti pasangan setiap malam. Tidak dia biarkan dirinya lengah dalam bekerja. Sebab, dirinya tahu, semakin banyak lengah, semakin dirinya merasa kesepian. Tanpa keluarga. Tanpa kawan ramainya yang kekanak-kanakan. Semua semu. Kesepian Freddie terpancar, dari puntung rokok yang sedikit masih mengeluarkan asap di meja makan, botol wine yang saling adu menunggu dibuang, serta bungkus makanan yang bahkan Freddie tak tahu kapan ia memakannya. Itulah Freddie, hanya Freddie Mercury, yang saat itu bukan “vokalis band Queen”

“Band adalah keluarga” disadari Freddie sungguh nyata pada kehidupannya. Cinta orang tuanya berhasil ia tafsirkan. Selama film, karakter ayahnya diibaratkan sangat keras. Tanpa senyum, hanya bicara sepatah dua patah kalimat. Namun, ada hal yang manusia pun tidak bisa tutupi: tatapan mata. Sebuah keberantakan, keributan, pertengkaran bagi Freddie kini adalah bukti bahwa kesepian adalah dirinya sendiri yang membuatnya.

Rami Malek berhasil dalam membawa dirinya menjadi seorang Freddie Mercury. Gimmick Mercury diatas panggung dihidupkannya kembali. Isi kepala Malek dalam film itu adalah Freddie Mercury, bukan seorang Rami Malek yang mencoba semirip mungkin dengan Freddie Mercury. Gigi tonggos, rambut gondrong yang akhirnya cepak dengan padu padan baju yang “sesuka hati” serta gestur centil seorang Mercury kembali hidup.

Konser Live Aids menjadi penghujung spektakuler yang membawa penikmat film kembali ke era 80-an. Energi penggemar Queen disajikan dengan manis dalam layar bioskop. Konser itu seolah mengalami pengulangan yang persis dengan aslinya. Tingkah lincah nan menggelikan Freddie di atas panggung, tangisan penonton di sela-sela nyanyian We Are The Champion, tak luput, tangisan kedua orang tua Freddie dan adiknya yang menyaksikan dari layar TV. Saat itu, Freddie menang atas dirinya. Queen menang atas manusia yang meremehkannya.

Penulis: Teresa Widi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here