Karya Neraca Cinta Dzilhaq
Pernahkah kau mendengar tentang dunia cahaya? Dunia cahaya adalah suatu dambaan dalam hidupku. Kisah ini adalah mengenai pencarianku terhadap dunia cahaya.
Namaku E. Aku adalah penghuni dunia kegelapan. Semenjak aku lahir, aku tidak pernah bersentuhan dengan jenis cahaya apapun, meskipun aku sering mendengar kisah-kisah tentang cahaya. Satu-satunya orang yang pernah melihat cahaya adalah ayahku, dan aku sudah berkali-kali meminta pada ayah agar membiarkanku merangkak keluar dari dunia kami, agar aku bisa melihat cahaya. Akan tetapi, Ayah yang luar biasa protektif tetap bersikeras melarang. Ayah yang biasa keluar-masuk antara dunia cahaya dan dunia kegelapan mengatakan bahwa dunia cahaya penuh dengan pemburu-pemburu jahat. Mata mereka menyala-nyala merah saat mengejar Ayah menggunakan tongkat-tongkat besi, hingga Ayah lari pontang-panting kembali ke dunia kami. Ayah berkisah sambil mengenang betapa sakitnya tongkat-tongkat besi itu saat dipukul ke tubuhnya. Bekasnya menimbulkan semacam memar yang terus terbakar setiap kali Ayah memegangnya.
“Berjanjilah, E, kecuali jika terpaksa, jangan pernah mendekati dunia cahaya,” Ayah mewanti-wanti dengan tegas.
“Kehidupanmu di dunia kita masih panjang, jangan pernah korbankan nyawamu demi mimpi yang tak pernah bisa kau raih.”
Setiap hari, setiap bulan, dan setiap tahun, kota akan terus berubah. Lama-kelamaan, kisah-kisah mengenai gedung-gedung yang agung itu telah berganti menjadi rumah pertokoan. Kemudian dari rumah pertokoan, kisah mengatakan bahwa telah dibangun sebuah dunia kegelapan baru di baliknya. Tetangga kami semakin meningkat dari waktu ke waktu. Ayah pun semakin tua, namun pesannya kepadaku tetap tidak berubah. Seperti kata Ibu, “Seorang ayah pasti akan melindungi anaknya dari bahaya, dengan cara apapun.” Itu adalah sebuah kalimat paling lazim yang keluar dari mulut ibuku. Setidaknya aku sudah mendengarnya ratusan kali.
Akan tetapi, pada kali terakhir Ayah kembali, ada sesuatu yang aneh dengannya.
Ia datang sambil merintih-rintih. Napasnya terengah-engah. Apakah Ayah terluka? Kalaupun memang terluka, ia jarang menampakkan kalau dirinya kesakitan.
Ibu tergopoh-gopoh menghampirinya. Ia adalah yang pertama kali menanyakan pada Ayah, apa yang sebenarnya sudah terjadi. Ayah lalu menyentuh tanganku. Sesuatu yang hangat dan basah melekat di kulitku. Apa ini darah? Derik napas Ayah naik-turun secara cepat. Aku menyentuh lukanya yang parah menganga, menembus bahunya, turun nyaris menuju jantungnya.
“Sungguh biadab!” jerit Ibu. “Setan! Pembunuh! Bagaimana mungkin?”
“Aku sudah sebisa mungkin meloloskan diri dari mereka,” kata Ayah, “tapi mereka lebih cepat dariku. Mereka sudah punya senjata baru. Senjata paling tajam yang pernah kurasakan. Tidak, tidak… sepertinya aku tidak akan pernah mau ke sana lagi untuk waktu yang lama.”
“Itu artinya,” kataku, “kita akan kehabisan makanan.”
“Dengan perkembangan dunia cahaya yang semakin pesat, dunia kegelapan akan merasakan dampaknya. Kita harus mencari tempat tinggal baru. Itu pun kalau sempat.”
“Oh, apa artinya kita semua akan mati?” isak Ibu.
“Tidak, tidak, itu tidak boleh terjadi!” teriakku. “Ayah orang yang kuat, Bu. Kita semua pasti selamat. Iya, kan?”
Tangan Ayah yang sedingin es mengejang di sela-sela jemariku. “Yang tua pergi, yang muda menanti,” bisiknya. “E, aku tidak akan lama lagi hidup di dunia ini—dunia kita—untuk selama-lamanya. Kau akan menggantikan posisiku cepat atau lambat. Artinya, besok kau harus mempersiapkan mental untuk pergi ke dunia cahaya. Pertahankan kehidupan kita, E, carilah makanan untuk kita.”
Aku dan Ibu mendekap tubuh Ayah erat-erat. Ia tertidur dalam pelukan kami.
Dunia cahaya, aku tahu kau akan memanggilku.
Ibu memberiku sesuatu ketika aku akan berangkat.
“Ini adalah jimat keberuntungan, akan mengingatkanmu selalu pada jalan pulang.” Tangannya mendekapku. “Hati-hati, Anakku.”
“Ibu, aku akan baik-baik saja,” sahutku. “Aku janji.”
Pesannya begitu sejuk di telingaku. “Berjalanlah lurus, kau akan menemukan cahaya di depanmu. Ikuti cahaya itu. Tetapi saat kau akan pulang, hindarilah cahaya, maka kau akan menemukan rumah.”
Jimat itu kugenggam erat-erat. Rasanya begitu hangat. Aku berjalan perlahan-lahan meninggalkan rumah. Kesenyapan mengurungku bagaikan belenggu tak kasat mata. Aroma tubuh ibuku sudah semakin jauh, artinya aku sudah benar-benar sendirian sekarang. Ketika aku menatap ke depan, sebuah titik berwarna putih menampakkan wujudnya. Apakah itu yang disebut cahaya? Aku memacu langkah untuk mendekatinya.
Cahaya itu tampak janggal, tapi juga tidak. Ah, kuharap aku bisa menemukan kosakata terbaik untuk menggambarkannya. Wahai Cahaya, ke mana kau akan membawaku? Ia tetap diam, namun wujudnya sedikit demi sedikit makin membesar. Aku ingin menyentuhnya, namun telunjukku terlalu takut untuk teracung. Kesenyapan yang mencekik lenyap ditelan puing-puing udara. Segelintir hembusan angin menyiulkan kemerduan yang belum pernah sebelumnya kudengar. Ia berbisik padaku, entah apa yang dia katakan.
Kepalaku terjulur, mengintip ke dalam bulatan cahaya. Tinggal dalam kegelapan sedari di rahim Ibu membuat mataku lebih peka terhadap kegelapan ketimbang cahaya, sehingga perih rasanya saat melakukan hal itu. Mataku menggelayut pada skema paling asing yang pernah kusaksikan. Kukutuk diriku yang belum pernah melihatnya. Di dalam bulatan cahaya ternyata berkerumun ribuan cahaya lain yang lebih terang, besarnya tak lebih dari bulatan cahaya itu sendiri.
“Berkelap-kelip,” aku mendeskripsikannya secara spontan. Ah, sungguh ungkapan yang sesuai. Di tengah-tengah kekagumanku yang memercik lembut, sekelebat bayangan melintas, besar sekali. Bayangan yang juga penuh dengan cahaya. Dua di belakang, dua di depan. Bayangan-bayangan lain menyusul. “Merah dan kuning,” kataku pada diri sendiri, agak terkejut saat mengatakannya. “Bayangan itu berwarna merah dan kuning.” Aku semakin terpana saat mendongak ke atas. Puluhan cahaya lain melekat di langit yang tiada berujung. Cahaya-cahaya mungil itu menari-nari seolah menyambut kedatanganku.
Dunia cahaya sungguh cantik, namun berdiri di sana seorang diri mengingatkan bahwa aku masih memiliki rumah. Saat itulah aku membalikkan tubuh dan melihat sebuah jalan yang gelap dan lurus ternganga lebar di belakangku.
Gerbang antara dua dunia.
Hatiku jungkir-balik dan terasa sesak. Aku punya Ayah dan Ibu yang senantiasa menunggu buah tanganku dengan sabar, jadi aku harus menjalankan misiku secepat mungkin.
Hidungku tegak mencium aroma semerbak dari bangunan tertinggi menyerupai semacam benteng yang berisi cahaya paling terang. Oh, makanan, sekarang aku tahu dari mana Ayah mendapatkanmu! Lekas-lekas aku merangkak menuju benteng tersebut. Oh, aromanya semakin kuat! Kusentuh tembok benteng itu, kujilat sedikit. Tembok merah dan birunya terbuat dari sesuatu yang keras dan dingin, juga sangat licin. Cahaya itu berasal dari bola-bola mungil yang tergantung di atas, tetapi bukan di langit, melainkan di dalam benteng itu sendiri. Aku bertanya-tanya dalam hati, “Apakah aku diizinkan masuk? Bagaimana kalau ada pemburu?”
Aroma semerbak yang kuat itu semakin membuatku lapar. Mau tak mau aku harus memasuki benteng itu. Aku berjingkat-jingkat di balik bayang-bayang. Satu langkah, dua langkah, baik-baik saja kuharap. Tiba-tiba, pintu benteng yang ingin kucapai terayun membuka. Sesosok makhluk jangkung berkulit merah melewatinya sambil bersenandung. Aku buru-buru kembali pada bayang-bayang benteng untuk mencegahnya melihatku. Ah, semoga dia tidak kembali ke benteng. Aku nyaris menyentuh pintu saat mataku menyaksikan dua makhluk berkulit merah lainnya berjalan ke arahku. Tanpa pikir panjang, aku kembali pada tempat persembunyianku. Sial! Siapa, sih, mereka? Penjaga benteng?
Aku memutar otak sekeras mungkin. Dari mana tepatnya aku bisa masuk?
Mataku pun terfokus pada sebuah celah kecil yang mengeluarkan angin di bawah benteng, agak panas saat menyentuhnya. Sebuah ide tiba-tiba terbesit di kepalaku. Ya, mungkin melalui celah itu aku bisa menyusup ke dalam benteng tanpa ketahuan. Aku menggunakan jimat pemberian Ibu untuk mencongkel penutup celah tersebut. Tubuhku cukup muat di dalamnya. Aku merayap tanpa suara.
Hawa panas terus menekan kulitku sampai sekujur tubuhku basah, tetapi aku tak mau menyerah. Sedikit demi sedikit aku mulai terbiasa dengan udara minim di dalam celah tesebut. Ah, ada lingkaran cahaya lain di depan! Aku semakin dekat dengan tujuanku. Saat aku mencapainya, aku melongokkan kepala, mendapati bahwa pemandangan di dalam benteng terasa lebih jelas ketimbang di luar. Aroma semerbak itu kembali tercium, memotivasi rasa laparku yang menjadi-jadi. Aduh, bagaimana caranya aku keluar dari sini?
Sesosok makhluk merah lagi-lagi muncul. Kepalanya yang besar bergerak-gerak saat ia berkomunikasi dengan makhluk besar lain. Ia berkulit kuning, bukannya merah. Sialnya, dia berada persis di bawahku. Agak lama mereka berdiri, lalu makhluk kuning itu menghilang. Si makhluk merah pun ikut lenyap. Aku menyelipkan jariku ke dalam celah. Terlalu kecil. Aku harus mencongkelnya lagi. Jimatku memang berguna di saat-saat seperti ini.Tapi, penutup yang ini berbeda karena lebih berat. Sekuat tenaga aku mendorong penutup itu agar terbuka. KLANG! Begitu bunyinya saat ia terpental ke bawah, menghantam lantai.
“Sial!” aku mengutuki diriku sendiri. Dua makhluk berkulit merah disusul satu makhluk berkulit biru dan tiga makhluk berkulit kuning tiba-tiba sudah berdiri di bawahku. Mata mereka menyala-nyala seperti para pemburu.
“Siapa di sana?” gelegar mereka. “Pencuri!”
“Sial, sial!” kutukku berkali-kali. “Habislah aku!”
Buru-buru aku merayap mencari jalan kembali. Tak kupedulikan suara-suara berisik di bawahku yang semakin ricuh. Oh, sial, sial, sial benar! Aku bisa mati kalau tidak segera keluar dari situ. Di mana cahayanya? Di mana cahayanya?
Aku merangkak dengan panik. Tanganku terbentang di depan sambil meraba-raba. Oh, beribu sial! Ke mana gerangan cahaya dari dunia luar?
Tanganku mendadak menyentuh sesuatu yang hangat. Bukan jimat, karena terasa lebih halus. Aku membiarkan diriku ditarik olehnya. Saat aku sudah bisa menenangkan diri, kulihat seberkas cahaya muncul darinya, tetapi bukan dari dunia luar. Cahaya itu berasal dari dirinya sendiri.
“Ikut aku,” katanya. Ia menuntunku dengan cahaya yang ia pegang, kemudian ia menyeretku ke dekat lingkaran cahaya lain. Ia membiarkanku masuk duluan, lalu aku melihatnya mendarat di sebelahku. Ia mematikan cahaya yang dibawanya.
“Aku tahu kau siapa,” kata sosok itu. Ia memiliki mata yang begitu jernih sehingga dapat membiaskan cahaya. “Ambillah.”
Ia menyodorkanku sesuatu. Aroma semerbak menembus hidungku, asalnya dari situ. Makanan! Aku menatapnya dengan tidak percaya. Ia kembali menyalakan cahayanya untuk mengiyakan. Rasa laparku kembali menggelegak. Kulahap makanan itu bulat-bulat.
“Kaum kegelapan sudah semakin terancam, bukan?” kata sosok itu dengan sedih. Aku termangu-mangu heran. Dari mana dia tahu tentang duniaku?
“Selama ini aku pikir kalian tidak nyata,” kata sosok itu. “Tetapi, setelah melihat salah satunya kemarin, aku harus belajar untuk mempercayainya. Di mana kalian tinggal? Seperti apa dunia kalian?”
Aku tidak menjawab. Mulutku penuh makanan. Sosok itu menoleh pada sosok lain yang duduk tak jauh dari kami. Aku berjengit. Sosok lain itu memiliki kulit tebal berwarna abu-abu, sedang tertunduk tanpa mengucapkan sepatah kata, seolah-olah ia tengah meratapi sesuatu.
Sosok penolongku mendesah. “Ya, kaum kami tidak sebahagia yang dikatakan orang. Aku dan dia serupa, tetapi tidak sama. Aku sudah terlalu lama berada di dunia yang penuh penderitaan ini.”
“Bukankah cahaya adalah berkah bagi dunia kalian? Cahaya itu sangat indah,” kataku.
Penolongku menoleh. “Siapa namamu, Penghuni Kegelapan?”
“E,” jawabku.
“Kau belum terbiasa dengan cahaya, E. Itulah sebabnya kau bisa mengatakan hal itu.”
“Aku suka dengan cahaya, aku mencintainya sejak melihatnya dengan mataku sendiri,” ucapku.
“Salah, justru mencintai sesuatu butuh waktu lama,” senyum penolongku, “sedangkan aku sudah jatuh cinta dengan cahaya berkali-kali, sampai-sampai aku merasa bosan kepadanya. Pada akhirnya, kau akan sadar bahwa cahaya memiliki dua kemampuan: mencuri hatimu sekaligus membunuhnya. Cahaya dan kegelapan hanyalah dua sisi yang berbeda dari satu mata uang yang sama.”
Mendengar kata ‘membunuh,’ aku bergidik, teringat para pemburu bermata merah yang menusuk ayahku.
Penolongku itu lalu menyodorkan padaku dua potong makanan lagi, masih begitu hangat dan harum. “Hanya ini yang bisa kuberikan padamu. Pulanglah dengan selamat, E. Ini adalah hadiahku untuk kedua orangtuamu.”
“Terima kasih, Tuan,” ucapku sambil berlutut di hadapannya. “Tuan Penolong, apabila kau berkenan, kau bisa meninggalkan dunia cahaya ini bersamaku, pulang ke dunia kegelapan. Mungkin dengan begitu, kau akan mendapatkan kepuasan yang belum pernah kau dapatkan sebelumnya. Ayah dan Ibu pasti akan bahagia karena tahu aku membawa seorang tamu yang budiman.”
Di luar dugaan, penolongku justru tertawa terbahak-bahak. “Tawaran yang sungguh baik!” katanya. “Kau sangat baik, tetapi aku tidak bisa menerimanya.”
“Kenapa tidak?” tanyaku.
“Aku memiliki rumah di sini, juga keluarga yang harus kuurus,” jelasnya sambil tersenyum padaku. “Seberapa menderitanya aku harus berjuang di sini, sebab dunia cahaya adalah Ibu Pertiwi-ku. Dia yang telah melahirkanku, mengasuh, dan mengayomiku hingga aku dewasa. Sekalipun aku menaruh hati pada tempat lain, aku tidak tega meninggalkannya. Dunia cahaya adalah kehidupanku, sama seperti dunia kegelapan bagimu.”
Aku kembali berlutut di hadapannya. “Tuan Penolong, terima kasih atas kemurahan hatimu. Kalau begitu, aku akan kembali ke duniaku. Semoga keluargamu di rumah selalu sehat dan bahagia.”
Dengan demikian, aku berjalan kembali menuju gerbang antara dua dunia. Tuan Penolong yang baik hati itu melambai padaku di seberang jalan yang diterangi gemerlap cahaya.
“Selamat berpisah, E,” katanya setengah berteriak. “Kita akan bertemu suatu hari nanti bila waktu mengizinkan.”
Begitulah. Aku meninggalkan dunia cahaya memasuki lingkaran kegelapan. Kesenyapan sudah menunggu sejak lama rupanya, sehingga ia begitu erat merangkulku. Ayah dan Ibu di rumah pasti juga tidak kalah rindu. Tak ada lagi sisa dunia cahaya bersamaku kecuali dua potong makanan itu. Mungkin Ayah memang benar, dunia cahaya bukanlah sesuatu yang pantas kuimpikan. Tetapi kelak, saat zaman telah berganti, para penghuni kedua dunia akan menyadarinya—bahwa seperti yang dikatakan Tuan Penolong—dunia cahaya dan kegelapan hanyalah dua sisi yang berbeda dari satu mata uang yang sama. Tidak peduli dari mana kita melihatnya, keduanya adalah unsur yang membentuk sekeping realitas kehidupan.
Catatan: cerpen ini pernah lolos seleksi kontingen UGM Peksimida 2016