Karya Desi Yunikaputri
Mendung siang ini tak mengeluarkan hujan. Rei baru saja sampai di depan teras. Gadis kecil dan Ibu itu duduk bersebelahan. Ia melihat wajah mendung si kecil, saat ibu sedang menasihatinya. Namun ia tak menjawab apa pun. Seperti mendung ini. Diam, cemberut, tak mengeluarkan kata apa pun. Rei duduk dan ikut merayunya. Ia tetap diam.
Si kecil masih berumur sebelas tahun. Selama itulah ia menjadi pendiam setiap ada perasaan mengganjal di hatinya. Rei tak tau pasti apapun yang sedang dirasakannya. Hanya ketika ia mencoba membaca hati di kecil, Rei menerka-nerka apa yang ia rasakan.
Sejak kecil, ia memang belum pernah merasakan keberadaan seorang ayah. Inilah sebab kuat yang Rei yakini membuatnya menjadi pendiam. Seorang anak kecil yang ditinggalkan ayahnya ke surga sejak ia berada dalam perut ibunya. Sejak saat itulah ia dibesarkan hanya dengan tangan seorang ibu.
Ibu sendiri sudah pasrah dengan apapun jalan hidup yang direncanakan Sang Pencipta untuknya. Ia bertekad membesarkan anak-anaknya seorang diri. Berusaha mendidik dan menafkahi anak-anak serta mengurus rumah tangga. Rei rasa memang ini bukan hal yang aneh lagi di masyarakat. Meski orang-orang sering melihatnya berat. Namun ibu tak pernah menyerah untuk melakukan semua itu.
***
Anak itu masuk ke kamar ketika ganjalan hatinya sudah penuh. Setelah itu, pasti ia akan menumpahkannya lewat air mata. Selalu begitu, tapi Rei membiarkannya sendiri. Sekarang pun seperti itu, ibu juga begitu. Langsung bersiap-siap kembali lagi ke toko.
“Rei, ibu titip adikmu. Jaga dia baik-baik. Ibu pulang sehabis isyak,” ucap ibu saat akan berjalan ke toko di depan. Rei membetulkan posisi duduknya. “Ehmm Bu, aku ingin bertanya. Kenapa ibu tidak menolak lagi? Ibu kan masih muda dan cantik,” tanya Rei cuek. Ibu terkejut mendengar pertanyaan Rei.
“Anak nakal!. Kenapa kau malah menginginkan ibumu menikah lagi?” balas ibu dengan memalingkan mukanya ke Rei.
“Siapa tahu jika ada ayah baru, dia tidak akan seperti itu,”
“Bagaimana jika tidak? Bagaimana jika ayah baru akan semakin membuat adikmu merasa terabaikan?” Rei tiba-tiba diam. Kedua bola matanya berputar ke sudut kanan atas. Ia tak bisa menjawab lagi. Tetapi dia masih punya alasan lain.
“Ibu juga tidak perlu lelah bekerja dan mengurus rumah kan, jika ada ayah baru?”
Sampai sekarang masih banyak laki-laki serius yang mendekati ibu. Namun ibu tetap teguh dengan pendiriannya. Katanya tidak ada yang bisa menggantikan posisi almarhum suami di hatinya. Jika sudah begitu, hatinya pun yakin bahwa memiliki suami baru bukanlah solusi yang tepat untuk sekedar memperbaiki perekonomian keluarga. Bahkan pun untuk membentuk karakter anak bungsunya.
Ibu melangkahkan kaki ke sofa. Duduk dan memeluk anak sulungnya. “Kau ini kenapa? Sayang, kaukan masih kecil, bagaimana bisa sampai berpikiran seperti itu?” Rei hanya menhembuskan nafas. Matanya menatap ke depan. Tidak ada jawaban sama sekali.
“Kau kan tahu, kita sekarang hidup di zaman apa? Semua wanita bisa bekerja, dan itu sudah bukan hal aneh di masyarakat. Jadi apakah ada alasan lain, mengapa kamu harus punya ayah baru untuk membantu ibu mencari nafkah?”
Putra sulung ibu masih terdiam. Anak laki-laki lima belas tahun itu berusaha menerima pesan dari ibunya.