Diskusi publik bertemakan “Penyelamatan Angkutan Umum” digelar oleh Pijak.id dan Petarung (Pemuda Tata Ruang) pada Rabu, 16 Mei 2018 di EDS Building UGM (Jl. Asem Kranji, -red) pukul 15.30 WIB. Mengangkat judul “Angkudes dan Bus Kota Sekarat! Selametin Nggak Yaa….?” terdengar cukup menggelitik dan memang sangat sesuai dengan kondisi sekarang di mana angkutan tersebut sudah jarang ditemui. Diskusi tampak dihadiri oleh akademisi dan beberapa praktisi dalam bidang terkait.
Di tempat diskusi, peserta bisa saling bertukar ilmu dan pengalaman. Acara dibuka oleh moderator, yakni Dandy Idwal M (Teknik Sipil ’14) kemudian dipersilakan kepada para pembicara diantaranya; Muhammad Irsyad Adireja dari Pemuda Tata Ruang Kota Yogyakarta, Alfa Narendra, mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan Doktoral Sistem Transportasi UGM, dan Rian Budi Waluyo dari Komunitas Merawat Jogja untuk mulai memaparkan materi.
Irsyad mengkaji angkot di Kabupaten Sleman yang dulu sangat terkenal dan biasa disebut bis tuyul atau colt kuning. Saat ini, angkot tersebut sudah sangat jarang dijumpai. Hanya ada satu atau dua angkot yang beroperasi. Ia juga menceritakan pengalaman di masa kecilnya saat angkot sedang berjaya. “Angkot bis tuyul zaman dulu di Sleman menjadi andalan. Karena terminalnya dekat dengan pasar, pedagang pasar bisa dengan mudah membawa barang dagangannya. Biaya angkot juga ekonomis. Sekitar 1500 rupiah dan bisa menjangkau tempat yang berjarak cukup jauh, yakni 7 km,” ungkapnya.
Irsyad mengatakan angkot ‘sekarat’ disebabkan oleh faktor yang kompleks. “Pertama, trayek dan desain angkutan. Ada 3 rute trayek: Jogja-Jakal, Pakem-Kranggan, dan Jogja-Tempel. Trayek Jogja-Pakem-Kranggan sangat jauh, melewati banyak sekolah, hanya dilayani oleh angkudes yang sangat kecil. Kedua, kesejahteraan sopir. Sopir angkutan umum di Sleman rata-rata bukan pemilik kendaraan. Mereka hanya menjalankan kendaraan milik juragan. Ketiga, biaya operasional swadaya. Kayak bensin, perawatan, itu sopirnya yang nanggung. Akhirnya penuh saat ramai, ngetem saat sepi. Akhirnya angkot tidak reliable”, terang Irsyad.
Selanjutnya Rian Budi Waluyo, akrab disapa Yoyok, ia menjelaskan dari sisi bus kota atau jika di Jogja dikenal dengan istilah Kopata. Ia membandingkan hasil survei yang dilakukan saat menaiki Trans Jogja (TJ) dan Kopata. “Walah sekarang cari kopata susah banget. Kalau naik TJ nanti ndak bisa bawa bagor dan keranjang sayuran. Karena TJ kan ada yang buat berdiri, jadi padat banget. Saya harus turun ke shelter lagi, pindah-pindah. Capek kalau harus jalan kaki dari rumah ke shelter. Jadi, mending tunggu kopata lewat. Kalau misal disambungkan antara Kopata dan TJ mungkin mau naik, asal harganya murah,” ujar Yoyok menirukan percakapannya dengan salah satu penumpang lansia bus Kopata. Dari sisi sopir bus Kopata sendiri mengatakan jika pemerintah tidak meremajakan bus kota. Permasalahannya juga premium semakin susah, kalau beli pertalite terlalu mahal.
Alfa Narendra sebagai akademisi mengatakan apabila masalah angkutan umum ini memang ruwet. Diperlukan koodinasi dengan berbagai pihak terkait. “Di mana-mana angkutan umum itu biaya investasinya sangat mahal dan keuntungannya sangat kecil. Jadi, tidak bisa angkutan umum tanpa intervensi pemerintah. Dipaksa berhadap-hadapan antara angkutan umum dengan angkutan pribadi, ya nggak mungkin. Salah satu solusinya dibiayai oleh pajak. Tapi coba kita lihat pajak itu strukturnya seperti apa,” jelasnya.
Pemerintah daerah menurut Alfa sudah kecanduan statusnya terhadap pajak kendaraan bermotor. Pajak angkutan umum termasuk TJ juga berasal dari pajak kendaraan pribadi. “Ada upaya secara langsung maupun tidak langsung, untuk meningkatkan kendaraan pribadi. Karena porsinya ini bisa sampai 80 persen. Jadi, mungkinkah kita menyelenggarakan angkutan umum tanpa pajak dari kendaraan pribadi? Di banyak kota tidak bisa. Di banyak kota terutama kota kecil yang kendaraan pribadinya sedikit, kendaraan angkutan umumnya pun jadi terlantar. Mungkinkah pemerintah memaksimalkan angkutan umum yang memaksa berkurangnya kendaran pribadi? Yang artinya menguras Pendapatan Asli Daerah (PAD) itu sendiri,” Alfa menambahkan.
Selama ini pengusaha angkutan sudah banyak memberikan subsidi. “Bola itu ada di tangan pemerintah, yang harus berperan itu pemerintah. Pengusaha-pengusaha selama ini sudah menyubsidi. Pemerintah bisa menciptakan transportasi yang lebih fleksibel, yaitu demand rersponsive. Longgar dalam waktu, ruang, pengguna, dan muatan. Jadi, tidak harus melewati trayek yang kaku. Saya ketika di Bandung itu, sopir curi-curi trayek. Tapi ngetem sedikit sekali,” terang Alfa.
Era digital seperti saat ini juga bisa dimanfaatkan untuk mencari penumpang. ”Misal dengan membuat grup WA, satu RW satu angkot. Sopir angkotnya sharing. Karena itu yang dilakukan tetangga saya yang beberapa sopir angkot, dia punya langganan yang berangkat ke kantor lalu janjian, ngangkut sayur janjian. Dari situ bisa menguntungkan,” pungkas Alfa sambil tertawa.
Penulis: Desi Yunikaputri, Nira Rahmadewi/ Agnes Vidita/Bul
Editor: Hadafi Farisa/Bul
Foto: Bagus/Bul