Rintik Hujan di Kepala Kara

Ilus:

Karya Tri Meilani Ameliya
Editor: Ifan Afiansa

 

Gerimis jatuh pada puncak kepalanya, mengundang kerinduan, menengadah pada langit yang dilingkupi tanya. Dia merindukan kala ia begitu mencintai hujan. Seringkali, ia bersepeda mengelilingi halaman rumah sembari menunggu kemarahan ibu yang akan membuatnya berhenti bermain bersama rintik air. Atau lebih tepatnya, gerimis yang jatuh pada puncak kepalanya hari ini, membawa ingatan melangkah mundur pada hujan terakhir yang ia cinta. Ketika ayah mendekap tubuhnya yang basah dan membawanya masuk ke dalam rumah. Tidak ada ibu, ataupun aroma kue bolu, dan secangkir coklat panas di ruang tengah. Dia hanya mengingat pada hujan terakhir yang ia cinta, keluarga bisa memiliki dua buah rumah.

Perlahan, ia menarik napas dalam-dalam. Hujan memang mahir membuat seseorang terbawa oleh perasaannya. Hujan pun rawan menjatuhkan pikiran pada kenangan-kenangan yang dihindari oleh manusia. Sayup-sayup terdengar suara pekikkan dari para remaja putri berseragam putih abu-abu. Mereka berlarian. Kembali, ingatan gadis itu memutar kenangan pada masa abu-abu. Dia masih mengingat ketika setiap kehadiran pagi, dari rentang hari Senin hingga Jumat mampu mengukir senyum untuk sebuah alasan; seseorang yang akan ia temui di sekolah.

Semua bermula pada sebuah November yang dipermainkan oleh cuaca. Tanpa pertanda ataupun aba-aba, hujan mengharuskan langkahnya terhenti di sebuah ruko tua berpenghunikan seekor kucing bersama tulang ikan di hadapannya. Dia mengisi kekosongan pelataran rumah toko tersebut. Saat itu pula, seseorang datang. Begitu saja, lelaki itu bergabung tanpa suara. Mata gadis itu mengarah pada rintik hujan yang semakin menderaskan diri. Namun, sekilas dua kilas lirik ia berikan pada seseorang yang berjongkok sembari mengelus lembut kucing yang tampak telah puas dengan santapan makan siangnya.

“Katanya, kalau ada kucing yang tidur di waktu hujan, berarti hujan itu bakalan berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama.” Suara berat itu mengundang senyum pertama sang gadis.

“Aku baru tau ada metode terbaru dalam prakiraan cuaca.” Sambutnya sembari melangkah mendekat dan turut memberikan usapan lembut pada tubuh gemuk kucing yang mencoba terlelap itu.

“Namanya juga cuaca. Prediksi aja sesuka kamu, yang penting yakin.” Tawa pertama gadis itu muncul setelah kalimat kedua.

“Saka. Salah satu penggemar puisi-puisi di mading sastra karya seseorang berinisial K.”

Dua tarikan napas itu berhasil mengundang senyum kedua dari gadis itu. Diikuti sebuah tatapan dan senyum yang begitu indah, bergemuruh hebat detak jantungnya.

“Dari deklarasi barusan, tandanya aku nggak perlu memperkenalkan diri, kan?”

Tawa dari suara berat itu menciptakan sebuah simfoni merdu bersama alunan rintik-rintik hujan.

Gadis itu tidak tahu. Entah bagaimana merangkai kata yang tepat untuk menjelaskan kejadian itu. Kejadian yang menjadi awal untuk sebuah cerita. Pada saat itu, semua benar-benar terasa jujur dan nyata. Guncangan hebat pada detak jantung, senyum tanpa lepas dari wajahnya, hingga harapan yang ia panjatkan agar hujan menjadi abadi. Mungkin, kala itu, semuanya merupakan para pertanda ia akan sangat menginginkan waktu membeku. Hujan di kota ini memang menyimpan begitu banyak kisah. Dari yang terbaik hingga tidak bernilai apa-apa.

Pemutaran kenangan itu terhenti ketika sebuah payung menghalangi rintik gerimis terjatuh membasahi puncak kepala gadis itu.

“Kok belum masuk ke mobil, Non? Bisa-bisa Non Kara ketinggalan pesawat.” Kara memilih memutar tubuhnya dan berjalan mendekati mobil sedan hitam yang telah memanas. Pak Sopir mengikuti langkah majikannya.

Masa berlibur telah berakhir. Saatnya kembali pada rutinitas perkuliahan di tanah perantauan. Liburan diartikan beberapa perantau sebagai waktu untuk kembali ke rumah. Akan tetapi, bagi Kara, liburan tidak lebih dari meninggalkan sebuah rutinitas membosankan. Tidak ada rumah. Ayah jatuh cinta pada pekerjaannya. Ibu jatuh cinta pada lelaki barunya.

“Non Kara, jangan lupa, ya. Nanti kalau udah mau berangkat, lebih baik telpon Bapaknya Non dulu.” Saran dari Pak Sopir, saran itu hanya mengundang mendung hadir di kedua bola matanya. Kara memilih diam dan mengambil alih koper setinggi lutut itu.

Pemandangan seorang ibu yang mengecup kedua pipi anak perempuannya secara bergantian, dan seorang ayah yang bertahan dalam sikap dingin ketika sang putri melambaikan tangan di ambang pintu keberangkatan, seperti petir yang meruntuhkan kokohnya harapan terhadap kehadiran kembali sebuah keluarga yang utuh. Rindu dan pilu menyesakkan dadanya.

Sebuah pesan masuk. Ditandai getar ponsel pintar di saku celananya. 

Hati-hati di jalan, Sayang. Mama kangen. Sampai ketemu di liburan semester depan.

Kara tersenyum meremehkan pesan dari sebuah nomor tanpa nama itu. Ia hendak menertawai pesan yang tidak berubah satu kata pun sejak ia resmi menyandang status sebagai seorang mahasiswi. Akan tetapi, keramaian di muka bandar udara bukan suasana yang mendukung kehadiran tawanya. Tawa itu ia redam dengan menekan sebuah tombol di samping kanan ponsel pintarnya. Bahkan, ia juga tidak berniat melakukan saran dari Pak Sopir. Gerakan tangan itu terhenti ketika sebuah pesan masuk selanjutnya muncul di layar tipis itu.

Maaf papa nggak bisa ngantar ke bandara. Hati-hati di jalan. Papa bakalan rindu sama kamu. Telpon papa kalau udah boarding.

Pesan kedua pun tidak berbeda jauh dengan pesan pertama. Bagi Kara, rindu pada sebuah pesan tidak pernah nyata.

“Pak Agus pulang aja. Aku juga udah mau masuk.” Pak Agus mengangguk paham dan meninggalkan keramaian bandara.

Kara menarik napas panjang lalu mengembuskannya secara kasar. Bersiap menarik koper miliknya setelah menggenggam tiket elektronik beserta kartu identitas yang akan ia perlihatkan kepada petugas bandara di depan pintu keberangkatan. Namun, langkahnya terhenti ketika seseorang dengan rambut basah sembari menahan gigil berdiri di depan tubuh mungilnya.

“Hari ini, aku nggak nemu kucing tidur. Jadi hujan bakal berhenti sebentar lagi. No delay….” Kata-kata itu terdengar menggantung seakan memberi ruang untuk senyum Kara. Seperti bumi dan beragam cuaca dalam setiap harinya. Kehidupan Kara pun memiliki beragam cuaca. Saka selalu ada pada hari-hari tercerahnya.

“… aku udah rindu kamu.”

Kelabu dan mendung pada suasana hati Kara lenyap. Hanya ada rindu. Rindu paling nyata menyisakan beratnya langkah kaki Kara untuk meninggalkan seseorang di depannya.

Saka akan selalu berhasil menemukan Kara dengan caranya. Walaupun Kara tidak pernah memberitahukan waktu kepergiannya. Lelaki dengan kekaguman pada kesementaraan cuaca itu adalah orang yang paling gadis itu hindari di saat-saat seperti ini. Perpisahan akan jauh lebih sulit untuk dihadapi bersama seseorang yang hadirnya berkesan sebagai tempat menetap selamanya.

 

Untuk kesekian kalinya, rindu harus siap mengudara. Sementara itu, menjaga kepercayaan di antara mereka merupakan satu-satunya cara agar cinta tetap dapat bernapas pada jarak yang terbentang. Walaupun menyesakkan, rindu yang bertebaran di udara adalah pertanda kemegahan sebuah cinta berjarak.

***

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here