Sejak penutupan palang pintu kereta dibawah flyover Janti, masyarakat banyak melayangkan protes kepada pemerintah karena memberlakukan kebijakaan yang terkesan merepotkan masyarakat.
Penutupan palang kereta api yang dimulai diberlakukan sejak Senin malam (31/10/2017) lalu membuat pengguna jalan tersebut kaget dan terpaksa harus menempuh jarak yang lebih jauh untuk bisa masuk ke flyover. Selain itu, karena banyak pengguna jalan yang mencari jalur alternatif, akibatnya ekonomi masyarakat sekitar ikut terpengaruh.
Sebenarnya maksud dan tujuan penutupan palang kereta di bawah jembatan Janti adalah demi keselamatan masyarakat sendiri. Menurut UU nomor 23 tahun 2007 tentang perkeretaapian, perlintasan kereta api tidak boleh sebidang dengan jalan. Berdasarkan aturan tersebut maka jalan seharusnya overpass (diatas perlintasan) atau underpass (dibawah perlintasan).

Perlintasan sebidang sebenarnya tidak sepenuhnya dilarang. Pada PP nomor 56 tahun 2009 disebutkan bahwa perlintasan kereta api boleh sebidang dengan jalan apabila jalan tersebut masih tergolong kelas 3, frekuensi kereta api sedikit serta jalur kereta api hanya satu (single track). Jika melihat aturan tersebut, jelas semua perlintasan kereta api sebidang di Yogyakarta seharusnya sudah ditutup karena hal tersebut sudah menjadi kewajiban pemerintah karena sudah dianggap membahayakan pengguna jalan.



Meskipun kebijakan tersebut merupakan ketentuan undang-undang, kebijakan tersebut dianggap merepotkan oleh masyarakat sekitar, salah satunya adalah Lowa Satada. Lowa merupakan pengguna jalan yang tidak setuju jalan dekat perlintasan flyover janti ditutup. “Aku sebenarnya gak setuju ya, soalnya pemerintah cuma nutup tapi gak memberikan solusi,” ungkap pemuda yang sekarang sedang kuliah di Universitas Gadjah Mada itu.
Selain itu, dampak penutupan palang kereta juga mempengaruhi usaha dagang yang sudah ada di sepanjang jalan tersebut. “Jelas ada perbedaan mas, karena setelah jalan ditutup pelanggan saya yang ada disebelah selatan kalau mau kesini harus lewat jembatan, jujur saja pendapatan saya juga berkurang 50 persen selama jalan ditutup,” ujar Budi salah seorang pedagang kaki lima saat ditanya mengenai pengaruh penutupan palang kereta api terhadap usahanya.
Sosialisasi sebenarnya sudah dilakukan oleh pemerintah, namun masih terbatas pada masyarakat sekitar. Sosialisasi untuk para pengguna jalan yang lain masih belum terlaksana dengan baik. “Kalau sosialisasi itu ada, namun cuma beberapa RT dan RW yang ada disekitar situ dan beberapa warga aja. Itupun juga belum banyak diinfokan ke warga lain sehingga masih belum banyak yang tau kenapa ditutup. Kalau aku pun ditanya kenapa jalannya ditutup, aku juga gak tau alasannya apa,” Tambah Lowa.
Dalam PP nomor 6 tahun 2017 yang merupakan pembaruan dari PP no 56 Tahun 2009 menyatakan, penutupan perlintasan kereta api harus mempertimbangkan aksesbilitas masyarakat. Dari sini masalah muncul. Penutupan tersebut semata-mata dilakukan demi kewajiban tapi masih kurang memperhatikan aksesibilitas masyarakat yang terganggu karena penutupan.
“Karena memperhatikan aksesbilitas masyarakat jadi yang ditutup itu yang sudah punya jalan lintas, ada flyover-nya ada underpass. Janti kan ada flyover-nya, cuma yang jadi masalah adalah akses kawasan sekitar ke flyover itu masih susah untuk kendaraan,” jelas Hendra Edi Gunawan ST MSc, seorang peneliti PUSTRAL UGM.
Banyak dari masyarakat menggunakan argumen “jumlah kecelakaan sedikit” sebagai alasan untuk menyebut penutupan perlintasan sebidang di Jalan Janti tidak kuat. Hendra juga menanggapi hal tersebut. “Sekarang kalau ditanya, “di sana kan tidak ada statistik kecelakaan”, itu salah juga. Kita tidak bisa mendasarkan di sana rawan kecelakaan atau tidak berdasarkan angka. Karena hal itu sama saja kita menganggap murah nyawa orang. Masa sebuah lokasi dianggap rawan kecelakaan kalau sudah ada yang kecelakaan? Kereta itu cepat dan sulit berhenti, kita tidak perlu menunggu adanya kecelakaan untuk bilang disitu rawan kecelakaan, karena nyawa manusia tidak semurah itu.” Kata Hendra
Karena banyaknya protes dari masyarakat, pemerintah daerah masih mengusahakan untuk mencari jalan tengah dengan cara menanyakan ke pemerintah pusat juga adanya rencana pertimbangan untuk membangun jembatan penyebrangan untuk pejalan kaki dan pengguna sepeda.Maksud peraturan ini sebenarnya murni demi keselamatan dan kelancaran perjalanan kereta api dan pengguna jalan. Tapi sekali lagi aksesbilitas masyarakat menjadi masalah utama dari kebijakan tersebut. PUSTRAL pun telah mengirimkan surat kepada Kementrian Perhubungan sebagai permohonan izin untuk menunda penutupan tersebut.
Penulis : Isnaini Fadlilatul Rohmah, Okky Chandra/ Hafidz Wahyu Muhammad/Bul