Pada hakikatnya, belajar adalah suatu proses yang berlangsung di dalam diri seseorang untuk mengubah tingkah lakunya. Entah itu dalam hal berpikir, bersikap maupun berbuat. Belajar tidak mesti mengenyam pendidikan secara formal. Belajar juga bisa dilakukan di lingkungan nonformal, yang bisa dilakukan di mana dan kapan saja.
Sebagai media komunitas, Bul berkomitmen untuk terus belajar, belajar, dan belajar. Belajar yang dimaksud–tentu saja–tidak hanya soal cara pengerjaan produk yang baik dan sesuai SOP. Bul juga perlu mendengarkan cerita orang-orang soal pengalamannya. Bukankah pengalaman itu adalah guru terbaik?
Belajar dari pengalaman itu tidak hanya dengan mengadakan pelatihan lalu mengundang beberapa pemateri yang ahli di bidangnya masing-masing. Ada kalanya, awak Bul juga perlu ‘keluar’ sejenak dari peradaban sekre B21 untuk menggali ilmu dan pengalaman dari orang-orang. Ya, biar hidup nggak monoton. Dan lingkungan pergaulan nggak hanya di situ-situ saja.
Karena beberapa alasan tersebut, makanya Bul mengadakan acara Kunjungan Media. Acara ini terbuka untuk semua awak aktif maupun magang. Dengan kata lain, siapa saja yang ingin dan niat belajar, boleh ikutan.
Kunjungan Media kali ini berlangsung pada tanggal 30-31 Oktober 2017. Beruntung sekali, kami bisa mengunjungi 4 media sekaligus dalam dua hari, yaitu The Jakarta Post, tirto.id, kumparan.com, dan TEMPO.
Pada hari pertama, kami terlebih dahulu berkunjung ke The Jakarta Post. Di sana, kami disambut oleh Mas Damar Harsanto (Editor at Large The Jakarta Post). Dari Mas Damar, kami jadi tahu kalau The Jakarta Post sebenarnya tidak hanya menyajikan berita saja, melainkan juga mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya kemampuan berbahasa Inggris. Coba siapa yang tahu bahasa Inggrisnya RT, RW, kelurahan, dan kecamatan? Kalau memang belum tahu, cari tahulah di The Jakarta Post!
Di The Jakarta Post, proses pembuatan berita hingga dapat dibaca oleh khalayak pun terbilang unik. Menurut Mas Damar, ada 9 pasang mata yang wajib dilakukan sebelum berita itu dicetak. Salah satunya adalah proses editing yang juga melewati tahap pengecekan kosakata dan gaya bahasa. Hal ini penting banget lho mengingat The Jakarta Post itu koran lokal berbahasa Inggris. Sebaik-baiknya penulis ketika menulis dalam bahasa Inggris, bukan berarti mereka juga ‘jago’ berbahasa Inggris. Makanya The Jakarta Post merekrut warga negara asing alias native speaker untuk jadi editor. Harapannya, supaya para editor ini bisa menyesuaikan gaya bahasa yang sesuai dalam budaya bahasa Inggris. Kriteria editor yang dibutuhkan juga tidak sembarangan, yaitu bagi mereka yang benar-benar lulusan dari Sastra Inggris.
Sorenya, giliran tirto.id yang kami kunjungi. Tidak disangka, di sana kami disambut dengan sangat meriah. Soalnya, tidak hanya satu-dua orang saja yang menyambut kami, melainkan hampir semua staff ikut berkumpul di ruangan redaksi tirto.id. Acara pun dibuka oleh Mbak Nurul (Redaktur Eksekutif tirto.id) dengan memperkenalkan seluruh staff yang ada di sana. Lalu, acara dilanjutkan dengan bincang-bincang bersama Mas Zen RS (Editor at Large tirto.id). Mas Zen menuturkan, meski tirto.id baru berumur jagung alias 1,5 tahun, tapi tirto.id berkomitmen buat jadi media yang tidak hanya menyajikan informasi berdasarkan fakta, tapi juga bagaimana agar informasi tersebut tersampaikan dengan baik kepada pembaca. Salah satunya adalah dengan menyajikan info grafis yang ciamik dan tidak melulu berhubungan dengan grafik.
Satu per satu, teman-teman awak bertanya demi memuaskan rasa penasaran mereka seputar kriteria penulisan di tirto.id¸ rekrutmen anggota hingga pengelolaan sosmed dan iklan. Mungkin karena dianggap interaktif, beberapa penanya yang beruntung mendapatkan oleh-oleh istimewa tirto.id. Asyik! Ya beginilah, salah satu keuntungannya kalau ikutan kunjungan media.
Nah, esok paginya, kami berkunjung ke kumparan.com. Ketika masuk ke kantornya, kami sempat dibuat takjub. Bagaimana tidak, kantornya saja terasa homey banget! Tempatnya cocok banget deh untuk generasi milenial yang memang ingin bekerja dengan santai namun tetap produktif. Sembari menunggu–karena kami datangnya kepagian–kami pun dimanjakan dengan pemandangan working space kumparan.com yang membuat kami betah berlama-lama di sana. Tidak terasa, sekitar sejam kemudian, kami sudah asyik mengobrol dengan Mas Yusuf Arifin (Chief of Collaboration and Engagement kumparan.com). Bagi penggemar sepakbola, pasti sudah tidak asing kan dengan jurnalis yang mempunyai nama pena Dalipin ini?
Mas Yusuf ‘Dalipin’ Arifin cerita, kalau kumparan.com ini sebenarnya wadah untuk berbagi informasi. Jadi, siapapun bisa nulis di sana. Caranya terbilang mudah, hanya perlu membuat akun, setelah itu menulis lah dengan bebas seperti menulis di blog pribadi. Tapi, yang membedakan dengan situs populer lainnya, di kumparan.com para user juga bisa saling memberikan komentar, sehingga nantinya diharapkan bisa jadi ruang diskusi antar-user.
Sekitar pukul 13.00, kami pun melanjutkan perjalanan ke TEMPO. Lagi-lagi, karena menghindari macet, kami pun datang ‘kepagian’. Nggakpapa lah ya, yang penting nggak telat. Selagi menunggu, kami bisa membaca produk-produk TEMPO Media Group yang berupa majalah, koran maupun buletin di lobby. Tak disangka, kedatangan kami–mungkin karena berisik juga kali ya–ternyata menjadi perhatian Mas Budi Setyarso (Pemimpin Redaksi Koran TEMPO). Tak hanya mengobrol, beliau juga mengajak kami foto bersama lho!
Tepat pukul 15.00, kami diajak ke ruang meeting di lantai 4 dan berbincang-bincang dengan Mas Anton (Redaktur Nasional & Hukum Koran TEMPO) dan Mbak Ndari (Penanggung Jawab TEMPO English). Dari keduanya, kami jadi tahu kalau awalnya majalah TEMPO dibuat karena terinspirasi dari majalah TIMES yang ada di Amerika Serikat. Mas Anton juga bercerita ‘serunya’ menjadi wartawan TEMPO, yang tidak hanya dituntut untuk berani saja, melainkan juga harus siap dengan risiko. Katanya, “Kalau soal diancam dan dilaporkan ke polisi sih, sudah sering. Jadi, sudah terbiasa,”
Sebelum pulang, kami pun diajak berkeliling ke kantor redaksi TEMPO. Yang membuat tergelitik adalah sebagian ruangannya dihiasi dengan gambar dan aksesoris yang berbau Kartini dan–tentunya–perempuan. Apakah TEMPO sedang getol mengangkat isu feminisme? “Dekorasinya kebanyakan mengangkat tokoh Kartini, karena memang sisa dari perayaan Hari Kartini 21 April lalu. Karena belum pengen diberesin, kami tambahkan gambar pahlawan Indonesia, sekalian menyambut Hari Pahlawan,” ujar Mas Raymundus Rikang (Jurnalis TEMPO) ketika ditanya.
Sebenarnya acara Kunjungan Media ini bisa jadi modus buat liburan dan melarikan diri sejenak dari kenyataan dunia perkuliahan. Tapi, sekali lagi, belajar itu tidak mesti duduk di bangku dan mendengarkan dosen. Tidak mesti dengan mengikuti pelatihan-pelatihan yang mengundang beberapa ahli. Toh, dari cerita orang-orang pun, kita juga bisa belajar kan?
Sampai jumpa di Kunjungan Media selanjutnya!
Penulis : Floriberta Novia D S/Bul
Foto : Bagus Imam Besari, Fadhlul A Dalimunthe, Rahmatunnisya, Akyunia Labiba/Bul