Hai Senja… aku harap kamu selalu baik-baik saja.
Masih ingatkah ketika sang rembulan hadir dan menyaksikan kita saling merengkuh?
Unik, sejak dulu aku selalu menyangka bahwa senja selalu lebih menarik dari sang rembulan yang dengan gagahnya memantulkan cahaya sang pemberi energi.
Namun saat itu, detik itu, kamu merubah segalanya, Senja. Sang rembulan saat itu tampak lebih nyata, dekat, dan… hmm.. hangat.
Ingatkah pula, pada perbukitan dengan tanjakan cukup ekstrem yang menjadi pijakan kaki kita saat melangkah?
Senja.. kamu memang luar biasa, aku pikir bukit itu menyebalkan: becek, kotor, bikin kaki pegal, dan… ih! Banyak sekali binatang kecil yang membuat kakiku gatal. Nyatanya, bukit itu lebih hangat, erat, dan nyaman.
Lagi-lagi, kamu ingat tidak? Kabut tebal yang turun bersamaan dengan hawa dingin yang menusuk kulit. Dingin, aku sampai takut masuk angin.
Yah, seharusnya aku menggigil kala itu. Tapi aneh, aku justru melepas jaketku, menghirup napas dalam-dalam, dan aku takjub! Hangat rasanya.
Senja, ingatkah kamu kala hujan mengguyur dan aku hanya memeluk kedua lututku?
Aneh, ada apa ini Senja? Tak kurasakan lagi kehangatan seperti kala aku bersama dengan rembulan, bukit, dan kabut.
Dingin…dingin sekali.. hingga aku menggigil. Jaket pun kututup rapat. Bibirku bergetar dan berwarna pucat. Hujan kala itu menghapus semua rasa hangat yang pernah aku rasakan. Aku ingin menahannya, aku menariknya kembali dalam dekapanku. Sayang sekali Senja, aku terlambat menahannya. Aku terlambat untuk mendekapnya kembali. Ia sudah pergi bersama sang hujan.
Senja… kamu bergurau, ya?
Mengapa kau membuat dataran tinggi ini menjadi hangat? Padahal hujan sudah membawanya turun dan bersatu dengan aliran sungai kala itu. Aku merasakannya. Namun sedikit berbeda. Mengapa aku tak bisa mendekap rasa hangat itu? Beberapa saat kemudian, angin datang hendak membawa si hangat pergi, aku mendekapnya dengan erat, berharap angin tak membawanya pergi. Namun angin itu sungguh memaksaku melepaskan dekapanku. Cukup lama aku bergelut dengan angin dan kemudian aku menyerah. Perlahan, aku pejamkan mata, aku lepaskan hangat. Diriku sudah siap melepaskan hangat.
Ah! Sialan kau, Senja! Rupanya perlahan angin itu menyelimuti tubuhku dengan kehangatan. Semakin ku dekap, rasa hangat itu perlahan menghilang. Lelah. Aku lelah mendekap hangat. Aku membiarkannya. Angin malah memelukku. Aku biarkan saja. Semakin kubiarkan, ia semakin hangat. Aku biarkan, aku biarkan dia memelukku. Tak lagi aku dekap angin, karena semakin aku melepasnya, diriku semakin hangat.
Penulis: Teresa Widi Werdiningsih
Penyunting: Kartika Natasha