Toleransi hanya dimaknai secara sempit. Toleransi hanya berlaku ketika keinginan sempit suatu pihak merasa terhalangi. Toleransi pada akhirnya menjadi jargon semu yang menuntut minoritas agar berkenan untuk mengalah. Pengamalan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, kini hanya menjadi cita-cita kosong yang gagal dilaksanakan hampir semua kalangan, tidak terkecuali mahasiswa. Tidak usah jauh-jauh membicarakan Ahok, Habib Rizieq, 212, atau aksi seribu lilin. Tengoklah kampusmu, UGM.
Ketika itu hari menjelang sore, dan langit menunjukan tanda kesedihannya. Ia menurunkan air mata. Di tengah hari yang gelap tersebut, fokus saya teralihkan pada suatu tempelan di dinding sekretariat BEM KM UGM. Tulisan tersebut persis seperti apa yang tertera pada gambar di atas: “Tanda Tangan Jaket Aksi #2. Allah Sedang Melihat Kamu.”
Sembari mengamati dengan cermat, saya melihat seorang adik angkatan yang kebetulan saya kenal. Ia mahasiswi jurusan Perikanan angkatan 2015, dan ia beragama Kristen. Dengan nada penasaran, saya bertanya:
“Tolong, dong, kamu bacakan dengan jelas tulisan di dinding itu. Aku mau dengar.”
“…………………..”
Ia tidak merespon apapun. Kemudian saya tekankan sekali lagi, “Tolong, dong, bacakan”
“Pakai pelafalan Arab, kan, Mas?”
“Kenapa harus Arab? Sebut biasa juga tidak apa-apa. Kenapa memangnya?”
“Saya paham, Mas, itu ditujukan buat teman-teman ‘di sini’. Saya sadar diri aja kalau minoritas, dan mending diem aja, Mas.”
Jujur saya sedikit mengerutkan dahi mendengar respon adik angkatan saya yang berkiprah di organisasi tersebut. Pada taraf paling sederhana, saya menyayangkan dengan sangat; apakah memang sesulit itu, mengganti diksi Allah, dengan Tuhan? Sesuatu yang saya kira sangat universal dan memiliki substansi yang jauh lebih diplomatik dalam menyikapi keberagaman identitas yang hadir di BEM KM UGM. Oh iya, saya lupa. Betapa naifnya saya; BEM KM bukan lagi milik UGM, melainkan milik KAMMI dan Tarbiyah.
Restorasi UGM Sebagai Perguruan Tinggi yang nasionalis, sekuler dan multikultural
“Pada waktu aku melangkah ragu memulai permulaan jalan yang menuju kepada kepercayaan, aku tidak melihat Yang Maha Kuasa sebagai Tuhan kepunyaan perseorangan. Menurut jalan pikiranku, maka kemerdekaan seseorang meliputi juga kemerdekaan beragama” – Ir. Sukarno
Beberapa waktu silam, media massa cukup meramaikan event spesial yang tengah diadakan oleh kampus, yakni deklarasi oleh pihak rektorat yang memplokamirkan bahwa Universitas Gadjah Mada adalah Kampus Pancasila. Jujur, saya geli dan prihatin. Namun, di balik kekecewaan pribadi, deklarasi tersebut seolah pas untuk mengingatkan kembali kepada segenap keluarga sivitas akademika Universitas Gadjah Mada, bahwa realita kehidupan “Pancasila” memang sudah redup di UGM. Lebih spesifik lagi, penulis akan mencoba menceritakan bagaimana konsentrasi kekuatan politik “golongan tertentu” berhasil memonopoli kampus. Selain itu, bagaimana hal tersebut juga memiliki implikasi terhadap kehidupan sehari-hari mahasiswa.
Secara historis, Universitas Gadjah Mada didirikan berdasar prakarsa mandiri bangsa Indonesia. Saya tekankan, BANGSA, Indonesia. Sebuah perguruan tinggi negeri pertama negara yang dibangun di atas kekuatan sendiri. Hal tersebut mengabsolutkan bahwa nilai perjuangan, nasionalisme dan keberagaman yang terkandung dalam Pancasila seolah menjadi warisan yang inheren bagi UGM. Namun, lihatlah kini bagaimana kampus telah jatuh ke dalam jurang monopoli politik kampus dan dominasi golongan. Memang tidaklah terasa ketika setiap mahasiswa dan mahasiswi menjalani kehidupan kampusnya masing-masing yang terbebas dari urusan politik. Namun, perlu saya ingatkan, bahwa every act, is political.
Sebagai contoh, saya yakin pembaca paham bahwa dari tingkat jurusan hingga universitas, tiap tingkatan tersebut memiliki lembaga eksekutif masing masing, bahkan lembaga legislatif. Pada tingkat kampus, kita memiliki Senat Mahasiswa sebagai lembaga legislatif, dan BEM KM sebagai lembaga eksekutifnya. Setiap tahun, kita merayakan sebuah pesta “demokrasi” untuk memilih representatif kita di lembaga prestisius tersebut. Sedikit hipokrit menurut saya, menghadirkan para pejabat mahasiswa tersebut sebagai representasi mahasiswa yang secara hakiki hanya mewakili satu golongan mayoritas. Sebuah kumpulan perwakilan yang tidak mewakili sama sekali.
baca juga: Senjakala BEM dan Senat KM UGM
Walau terkesan politis dan rumit, setidaknya hal tersebut memiliki implikasi serius terhadap keputusan politik dalam lingkup mahasiswa, dan kehidupan mahasiswa itu sendiri. Sebagai contoh, saya yakin pembaca paham apa itu KPU. Sebuah lembaga yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemilu. Di UGM, kita juga memiliki KPU versi mahasiswa, yang dikenal sebagai KPUM (Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa). Hakikat dan fungsi KPUM adalah menyelenggarakan pemilihan presiden UGM dan Senat (DPR-nya mahasiswa) supaya luber-jurdil. Namun, nyatanya tidak. Jabatan SC (Steering Committee) dari KPUM adalah posisi politis yang diisi oleh anggota gerakan tertentu, yang bahkan bisa dikuasai kursi mayoritasnya oleh golongan putih (KAMMI). Jadi, masihkah percaya dengan pemilu kampus yang luber jurdil? Atau mungkin pembaca familiar dengan PALAPA? Singkat kata, infiltrasi dan kaderisasi ideologi politik tertentu nyatanya bisa masuk melalui event berskala besar yang bertujuan untuk pembekalan mahasiswa baru Universitas Gadjah Mada.
Kultur dominan dari ideologi politik tersebut nyatanya membuahkan hasil dalam kehidupan berorganisasi. Sebagai contoh, BEM KM UGM. Sebelumnya, saya meminta maaf apabila terkesan offensive. Namun, stereotype tentang celana cingkrang dan jilbab panjang ingin saya kesampingkan dulu. Itu memang fakta, namun jangan dijadikan acuan dan terkesan membenci tanpa alasan. Untuk personal style, saya tidak mempermasalahkan apapun yang ingin Anda kenakan. Setidaknya, ada batasan sosial yang mampu menilai pilihan Anda.
Titik berat penilaian saya ada pada “absennya kemajemukan pola pikir” dalam organisasi tersebut. Setidaknya hal itu mampu menjadi penilaian mutlak yang bisa menjelaskan keberagaman identitas yang hadir dalam BEM KM. Secara organisasional, saya yakin mereka profesional (walau saya ragu). Namun, secara politik saya ajak pembaca untuk menilai, apa preferensi ideologis mereka? Terlepas dari cara berpakaian tentunya. Kalau memang penilaian saya valid, saya mengusulkan agar BEM KM diubah menjadi lembaga eksekutif Jamaah Salahuddin saja, sudah jelas representasinya untuk siapa dan kepada golongan apa.
Singkat kata, toleransi itu memiliki dimensi praktis yang sangat luas. Toleransi tidak bisa dimaknai dengan ‘mengalah’. Misal ketika saya puasa, warung makan harus tutup, atau ketika saya Nyepi, toko harus tutup. Versi toleransi seperti ini rapuh, dan cenderung berakhir pada mengalahnya minoritas pada mayoritas.
Hal yang sama bisa dikatakan kepada adik angkatan yang telah saya kisahkan di awal. Pada akhirnya, ia pasrah menerima keadaan. Walau merasa tidak nyaman, ia tetap konsisten untuk bertahan dalam organisasi tersebut demi meraih pengalaman. Namun satu hal yang pasti, kultur tersebut tidaklah sehat bagi sebuah organisasi ‘identitas’ semacam BEM KM, tempat bertemunya mahasiswa lintas fakultas dan jurusan. Cepat atau lambat, hal tersebut akan mengeliminir individu atau golongan dengan keyakinan dan nilai sosial yang berbeda. Meski tidak ada diskriminasi langsung secara sosial dan fisik, tetapi implikasi pasif dari kebiasaan, ideologi politik dan kepercayaan nyatanya memiliki peran dalam mengubah inklusifitas BEM KM menjadi sebuah organisasi yang eksklusif. Dari hal kecil seperti ini, mungkin pembaca bisa menerka tingkat toleransi dalam sebuah organisasi tingkat universitas.
Oleh: Wibi Lungidradityo
Penyunting: Hanum Nareswari