Tahanan Perempuan yang Tidak Mendapatkan Hak-Haknya

Foto: Dandy Idwal Muad

Erni Ningsih adalah penjual pakaian di pasar malam. Ia rutin pulang-pergi Klaten-Yogya-Sukoharjo untuk memenuhi kebutuhan sandang orang-orang. Namun rutinitas ini berubah menjadi kegiatan wajib lapor ke Polsek Seyegan, Sleman, setelah ada seseorang yang melaporkan dirinya melakukan perzinaan. Tiap hari ia mesti melaju motornya, sendirian, dari rumahnya di Dukuh Klemut, Jebungan, Klaten Utara ke Polsek Seyegan. Padahal ia sedang hamil 6 bulan.

Erni, panggilan akrab Erni Ningsih, menikah siri dengan Suhadi pada 1 Agustus 2015. Hampir setahun kemudian, tepatnya 31 Mei 2016, istri pertama Suhadi melaporkan pasangan ini ke Polsek Seyegan dengan tuduhan melanggar Pasal 284 KUHP dan Pasal 279 KUHP tentang perzinaan dan pernikahan tidak sah. Menurut Tuginem (61), ibu dari Erni, istri pertama Suhadi ini sudah tujuh tahun meninggalkan rumah dan Suhadi.

Karena harus menjalani kegiatan wajib lapor dengan jarak tempuh yang jauh, Erni keguguran pada 12 Agustus 2016, ketika kehamilannya sudah berusia 7 bulan. “Kegugurannya di rumah setelah subuhan. Setelah itu langsung dibawa ke RS Cakra Husada, Klaten,” kata Tuginem di Kantor LBH Yogyakarta, Selasa (7/3). Setelah keguguran, Erni mengalami depresi. Sedangkan Suhadi sudah menjalani proses hukum sejak 9 Agustus 2016 dan telah ditahan.

Petugas Polsek Seyegan lalu menjemput paksa Erni di rumahnya pada 17 Oktober 2016. Ketika itu Erni hanya ditemani ibunya dan anaknya yang baru berumur 5 tahun. Menurut Tuginem, kondisi Erni waktu itu masih lemas. Polisi membawanya dalam keadaan belum mandi dan belum ganti baju. Tuginem berinisiatif menyiapkan baju ganti untuk dibawa ke kantor polisi. Tetapi polisi malah memarahi Tuginem. “Ayo cepat. Lelet banget kamu. Kamu ini menyembunyikan anakmu yang jadi tersangka itu,” kata polisi. Ada 3 orang polisi yang menjemput Erni. Semuanya laki-laki. Tidak ada polwan. Ini seperti membayangkan seorang wartawan laki-laki mewawancarai seorang perempuan korban pemerkosaan.

Tuginem menjawab ucapan polisi, “Ini tuh rumah saya sendiri, kok dianggap menyembunyikan. Gimana sih.”

Erni tidak ditahan di Polsek Seyegan, tetapi di Polsek Beran, Sleman. Hal ini dilakukan karena di Polsek Seyegan tidak ada sel tahanan khusus Perempuan. Di sel inilah Erni meninggal dunia, tepatnya tanggal 18 Oktober 2016, sehari setelah penangkapan. Erni berumur 31 tahun saat itu. “Saya kasihan sama anaknya ini,” ungkap Agung Nugroho (26), adik Erni. Kini anak perempuan Erni sedang bersekolah di TK.

Jenazah Erni dibawa ke RS Sardjito. Saat di sana, Agung mengaku diminta oleh pihak kepolisian untuk membuat surat pernyataan bahwa keluarga tidak menuntut apapun. Sesampainya jenazah di rumah, kepolisian meminta lagi surat pernyataan itu ke Agung. Surat itu nampaknya sangat penting untuk kepolisian, sampai-sampai mereka datang kembali untuk yang ketiga kalinya demi surat pernyataan tersebut. “Penyidik datang ke rumah. Menyodorkan surat contoh pernyataan. Tapi keluarga tidak membuat,” kata Agung.

Pihak keluarga meminta dilakukan otopsi pada jenazah. Otopsi yang diminta hanya otopsi luar saja, tanpa otopsi dalam. Namun hingga sekarang polisi belum juga memberikan hasil otopsinya.

Sehingga, sampai saat ini, pihak keluarga belum mengetahui secara pasti penyebab kematian Erni. Akhirnya mereka meminta bantuan LBH Yogyakarta untuk mencari keadilan terhadap kasus ini.

LBH Yogyakarta, melalui juru bicaranya Emanuel Gobay mengungkapkan, ada pelanggaran kode etik dalam kasus Erni. Pasalnya, kepolisian melakukan pembiaran dan tidak memenuhi hak kesehatan tersangka perempuan sebagaimana dijamin dalam Pasal 10 huruf f, Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Standar dan Pokok-Pokok Hak Asasi Manusia (HAM) dalam tugas-tugas kepolisian. Selain itu, tindakan kepolisian jelas-jelas melanggar Pasal 359 KUHP, yaitu kelalaian yang menyebabkan kematian.

Sebenarnya, jaksa yang menerima berkas kepolisian, yang juga melihat kondisi fisik Erni yang sedang buruk, menyarankan agar kepolisian merawat Erni terlebih dahulu. Namun kepolisian tidak menindaklanjuti arahan jaksa tersebut.

HAM sebetulnya sangat menekankan pemenuhan hak-hak tersangka perempuan yang selagi dalam kondisi luar biasa. Salah satunya perempuan yang sedang hamil.

Pihak kepolisian tidak mengakui adanya kelalaian. Polisi beralasan ada fakta bahwa korban punya sejarah penyakit jantung di tahun 2013. “Itu yang kemudian dijadikan alasan penyidikan Propam (Profesi dan Pengamanan) Polri dihentikan,” tutur Gobay.

Agung membenarkan tentang riwayat penyakit jantung itu. Namun, penyakit tersebut sudah tidak pernah kumat lagi. “Dia kan kerjanya jadi penjual pakaian, bolak-balik Yogya-Klaten-Solo, tidak masalah. Lha ini ditahan di polsek sehari kok langsung meninggal,” tegas Agung.

Pihak LBH Yogyakarta tetap akan mendesak pihak Propam untuk melanjutkan kasus ini. Berbagai jalur hukum akan ditempuh, misalnya melalui hukum Perdata. “Kalau diberhentikan, kan berarti ada indikasi polisi menyembunyikan pelakunya,” kata Gobay. Hal ini dilakukan sebagai bentuk usaha meningkatkan perlindungan hak-hak perempuan yang saat ini masih sangat lemah. Kasus Erni, demikian ungkap Gobay, menjadi bukti nyata. Ketika orang sudah ditetapkan menjadi tersangka, sudah tidak ada perbedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan. “Padahal”, lanjut Gobay, “khusus perempuan itu punya hal-hal yang sewajibnya dilindungi karena memang punya perbedaan sifat biologis. Kita belum ada perlindungan di arah sana.”

 

Penulis: Dandy Idwal Muad

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here